Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tiga Pendekar NU Dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung
Publik—khususnya warga Nahdliyyin—perlu tahu bagaimana ketiga pendekar NU ini meserpon persoalan global.
Editor: Husein Sanusi
Akan tetapi setelah Kiyai Said memberikan sikap membela Palestina, akhirnya isu Palestina sudah tidak dimonopoli oleh kalangan mereka lagi. Cara mengolah isu Palestinya ala Kiyai Said, NU, berbeda dengan cara kalangan Islamisme. Kiyai Said lebih menarik opini bahwa menyikapi Palestina dengan memberikan dukungan moril, donasi yang terpercaya dan tepat sasaran, dan berdialog dengan pihak Palestina serta mengecam kekerasan yang terjadi yang dilancarkan Israel dan Hamas. Tanpa memunculkan sikap kebencian dan intoleransi, seruan jihad, dan politik identitas.
Sedangkan sikap Gus Yahya lebih rasional dan menggunakan perspektif resolusi konflik yang meniscayakan setiap pihak atau orang yang hendak mendamaikan kedua pihak yang berkonflik maka harus bisa berada di tengah-tengah, bisa berdialog dan menggali informasi serta mengkaji berbagai persoalan dari kedua pihak, serta bersikap adil serta mencari win-wis-solution bagi keduanya. Upaya ishlah (rekonsiliasi/memperbaiki hubungan) kedua pihak yang bertikai pun dianjurkan dalam QS. Al-Hujarat:10.
Dalam perspektif resolusi konflik bahwa mendamaikan kedua pihak yang berkonflik dengan hanya berbicara kepada salahsatu pihak saja, maka mustahil mencapai perdamaian, sebab perdamaian harus disepakati oleh kedua pihak yang sedang berkonflik/bertikai. Pihak yang mendamaikan sejatinya orang lain yang membantu kedua pihak berdamai.
Saya pernah bertanya tentang isu Palestina kepada KH. Ahmad Fahru Rozi, pengasuh Pesantren An-Nur Malang dan pendukung Gus Yahya. Beliau menjawab dengan ringkas bahwa “Mesir dan Yordania tetangganya Israel saja membuka hubungan diplomasi dengan Israel. Karena sebagai negara tetangga, mereka tahu persis kekuatan Israel. Selain itu, ibarat di jalanan, kita lebih memilih selamat dan menghindari bahaya tabrakan daripada merasa benar tak mau mengalah yang akhirnya tabrakan. Kendaraan kita mobil kecil berhadapan dengan mobil truk container.”
Sedangkan pendekar NU yang ketiga Kiyai As’ad yang juga memiliki jaringan dan kiprah di dunia internasional. Kiyai As’ad lebih memilih merespon berbagai persoalan radikalisme dan terorisme global. Beliau menguasai informasi tentang Al-Qaidah yang ditaungkan dalam bukunya. Dan Kiyai As’ad seorang tokoh NU yang pro aktif dalam menciptakan perdamaian di Afghanistan dengan mendatangkan para tokoh kunci Thaliban ke Indonesia. Kiyai As’ad mengarahkan para tokoh Thaliban sowan ke PBNU. Para tokoh Thaliban belajar bagaimana NU bisa menerima negara republik, demokrasi dan Pancasila berdasarkan landasan pemahaman keagamaannya. NU pun menyampaikan prinsip-prinsip dasarnya yaitu moderat, toleran, keadilan, nasionalisme, keseimbangan, persatuan, dan persaudaraan antar umat Islam, antar warga negara, dan antar umat manusia. Agaknya, Kiyai As’ad berijtihad bahwa jika Thaliban bisa menjadi kekuatan Islam yang moderat, toleran, dan prinsip-prinsip luhur lainnya seperti NU, maka besar kemungkinan Afghanistan bisa tercipta perdamaian.
Sampai di sini. Hendak dikatakan bahwa ketiga pendekar NU tersebut sudah dapat terbaca ide dan gagasannya dalam menyikapi dan mengola isu internasional mana kala ditakdirkan Allah terpilih menjadi Ketum PBNU. Tanpa harus adu gagasan secara formal di forum resmi Muktamar ke-34. Sejatinya ketiganya dengan sendirinya sudah menunjukkan ke publik gagasan dan kiprahnya dalam merespon persoalan global. Meski kaum sarungan, para kiyai NU mampu terlibat dalam dialektika persoalan global bukan?