Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kiai Said vs Gus Yahya di Muktamar NU, Inilah Solusi Menghindari Konflik di Level Tanfidziyah

Jika merenungi perkembangan muktakhir, dialektika antara kubu pendukung Kiai Sa’id Aqil dan Gus Yahya, terlihat sangat dinamis

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Kiai Said vs Gus Yahya di Muktamar NU, Inilah Solusi Menghindari Konflik di Level Tanfidziyah
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Dengan menarik Kiai Sa’id ke Syuriah, setidaknya urusan Tanfidziyah sudah relatif reda untuk sementara. Selanjutnya tinggal bagaimana kiai-kiai sepuh “mengunduh” wahyu ilahiah untuk menentukan siapa yang layak jadi Rois ‘Amm, apakah Kiai Sa’id Aqil Siradj ataukah Kiai Miftachul Akhyar. Ranah istikharah kiai sepuh ini di luar jangkauan nalar publik.

Tentu saja kiai-kiai sepuh ini adalah manusia biasa. Karenanya, kubu-kubu pendukung Kiai Sa’id dan Kiai Akhyar boleh memberikan bisikan-bisikan kepada mereka. Sebab, bisikan-bisikan macam itu bernilai sebagai prasyarat, dan keputusan akhir adalah ilham ilahiah. Dan kekalahan kubu pendukung Kiai Sa’id maupun Kiai Akhyar di ranah Syuriah takkan punya alasan rasional, bila suatu hari nanti tidak puas.

Yang terpenting bagi warga Nahdliyyin sekarang ini adalah manajemen konflik, mengola dialektika antara tesis (Kiai Sa'id) dan anti-tesis (Gus Yahya) menuju harmoni. Jangan sampai ada celah sedikitpun bagi dialektika ini meledak menjadi permusuhan berkepanjangan. Apalagi, membuka ruang bagi argumen-argumen rasional yang dibuat-buat untuk memperburuk keadaan.

Penulis sendiri cukup khawatir, bila medan pertarungan kubu Kiai Said dan Gus Yahya berada di level Tanfidziyah, maka pihak yang kalah di kemudian hari akan memiliki celah dan kesempatan untuk membangun argumentasi rasional yang kuat, untuk membalas kekecewaan mereka. Sehingga Muktamar berakhir, tapi konflik berlanjut. Perjumpaan Kiai Sa’id dan Gus Yahya tidak boleh terjadi di medan Tanfidziyah.

Untuk itulah, perlu kiranya melapangkan jalan bagi Gus Yahya menjadi Ketua Umum. Dan pada saat yang sama, mengangkat Kiai Sa’id jadi Rois ‘Amm. Ini strategi yang perlu dicoba demi menghindari benturan keras di gelanggang Tanfidziyah. Strategi begini bergantung sepenuhnya pada kebijaksanaan kiai-kiai sepuh nantinya. Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*

BERITA REKOMENDASI
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas