Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sanksi Pidana Bagi Pembuat Laporan Palsu Suatu Kajian Hukum Dari Maraknya Laporan Korupsi Di KPK
Mengejutkan, dua orang tokoh telah membuat laporan ke KPK, pertama pelaporan dilakukan oleh yang namakan dirinya, Presidium Poros Nasional Pemberantas
Editor: Toni Bramantoro
OLEH: C Suhadi SH MH
Mengejutkan, dua orang tokoh telah membuat laporan ke KPK, pertama pelaporan dilakukan oleh yang namakan dirinya, Presidium Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK), Adhie Massardi terkait kasus usang.
Dan yang dilaporkan tidak tanggung tanggung, sederet nama nama beken Ganjar Pranowo, Gub Jateng, Anies Bawesdan Gub DKI dan Basuki Tjahya Purnama al Ahok.
Adapun laporan yang dilayangkan bukan kasus kekinian, entah kasus Anies yang mana yang menjadi obyek laporan.
Namun dari dua nama, Ganjar Gub Jateng, berkaitan dengan E KTP dan Ahok masalah pembelian tanah Sumber Waras, Cengkareng.
Dan dari kedua kasus kasus tersebut aktor intelektualnya sudah di Pidana. Dan namanya KPK dalam proses persidangan tidak menemukan Tersangka lain selain yang sudah di vonis, itu artinya perkara menjadi lucu apabila tanpa ada sebab-sebab hukum muncul laporan laporan baru.
Karena laporan tentang ada dan tidaknya tindak pidana bukan mengacu pada dugaan apabila berkaitan dengan Perkara yang sudah di vonis, rumusannya bukan pihak luar yang melaporkan, akan tetapi dari intsansi yang bersangkutan karena penerapan pasal 55, 56 KUHP ( note pasal penyertaan ) untuk kasus e ktp dan atau kasus pembelian tanah Cengkareng dll yang sudah ada Terangka/ Terdakwanya, sehingga tidak ada dasar hukum pihak luar dapat cawe cawe, karena pasal 55 dan 56 KUHP bukan pasal pokok akan tetapi pasal penyertaan.
Kenapa saya menulis pasal 55 dan 56 KUHP untuk kasus Ganjar dan Ahok, karena keduanya dari kasus yang dilaporkan sudah ada Terdakwanya, sehingga keterlibatan keduanya bukan di pasal Pokok, akan tetapi penyertaannya, seperti diatur pasal 55 dan 56. Atau lebih kerennya pasal ini adalah pasal mengenai pihak lain bukan dader ( pelaku utama ). Dan karena pasal penyertaan maka laporan ini menjadi tidak dapat di proses sepanjang dari, surat dakwaan/tuntutan dan atau dalam vonis disebutkan pihak lain tersebut, namun bila itu tidak disebutkan calon Tersangka lain maka perkara harus di hentikan. Kalaupun ada, idealnya perkara sudah diperoses dan hal itu yang bersangkutan tidak terbukti bersalah, dengan demikian kasus menjadi happy end.
Mengenai kasus Sumber waras, saya sedikit banyak tahu, dan pada waktu itu saya ikut membedah kasus ini, melalui Team Advokat Bergerak yang di pimpin oleh saya langsung.
Dari hasil temuan, persoalan paling pokok adalah di harga tanah yang tidak sesuai, karena kelompok yang mau menggulingkan Pak Ahok pake rumusan harga dari Jalan Kyai Tapa, sementara dipihak BPN Jak Bar, memakai NJOP Jalan Thomang Utara yang karekter harga tanah berbeda. Jalan Kyai Tapa tanah NJOPnya pasti lebih mahal dibanding tanah di Jalan Thomang Utara. Dan naasnya Rumah sakit Sumber Waras lokasi tanahnya membelah dua nama jalan tersebut. Namun sesuai hasil penyidikan perkara tidak dapat dilanjutkan.
Belum lekang dari ingatan akan lapran laporan diatas, tiba tiba muncul laporan baru dan tidak kalah serunya, karena yang dilaporkan adalah
kedua putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelapor dari hasil penyelusuran, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, yang juga merupakan aktivis 98 dan simpatisan PKS ( Partai Keadilan Sejahtera ) yang sudah sama sama kita ketehaui dan terdapat dugaan kuat punya tali perkawinan “ sirih “ dengan kelompok Islam garis keras yang selama ini berseberangan dengan Pemerintah. Jadi wajar kalau gerakan gerakan itu dibangun, agar ada gesekan dari masyarakat akan kepercayaan pada pemerintah berkurang. Mengingat pemerintah sekarang ini bahaya buat kelompok Islam garis keras, karena dari hasil survei, masyarakat sangat puas dengan kerja kerja pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo.
Dari dua orang pembuat laporan yang sama sama bermuara ke KPK, seperti ada tautan yang 'erat' satu dengan lainnya.
Hal ini dapat dilihat dari rentang waktu yang satu dengan yang lainnya keduanya diwaktu yang berdekatan.
Dan sangat mungkin sebentar lagi akan ada Laporan laporan lainnya apabila kita diamkan, dan hal itu tentunya mau engga mau akan bersimbas pada kerja kerja pemerintah dimasa sulit ini.
Bahwa menurut hukum membuat laporan bukan tidak mempunyai resiko hukum. Karena kalau tanpa dasar laporan masuk dalam ranah pidana, maka setiap membuat Laporan harus mempunyai dasar, yaitu adanya dua alat bukti yang mendukung laporan tersebut dan alat bukti tersebut adalah alat bukti yang bersentuhan dengan tindak pidana yang hendak dilaporkan.
Dan apabila alat bukti yang menjadi dasar laporan dari bukti yang baru yang akan timbul belum dapat dikatakan sebagai tindak pidana.
Adapun laporan yang tidak berdasar, karena buktinya lemah dan terkesan di paksakan, maka dapat masuk pada katagori membuat Loporan Palsu sebagaimana diatur dalam pasal 317 KUHP.
(1) Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar Negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
(2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35, No 1-3 (KUHP 72, 220, 310, 488)
Meruntut pada ayat 2 dari pasal ini, bagi pegawai negeri dapat dicabut hak haknya. Seperti apabila dia jadi dosen maka jabatannya sebagai Dosen dapat dicabut.
Sehingga dengan rumusan pasal ini, setiap orang tidak boleh sembarangan membuat Lparoran kecuali didukung dengan fakta fakta hukum yang dibenarkan untuk itu. Sebab laporan yang didasarkan pada asumsi akan berakibat fatal.
*C Suhadi SH MH, praktisi hukum dan Relawan.