Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ada Teman Bertanya tentang Wayang
Di dalam Wayang ada dua hal, yaitu wayang itu sendiri dan dalang yang menuturkan kisah-kisah yang mengandung pesan.
Editor: Husein Sanusi
Ada Teman Bertanya tentang Wayang
Oleh. Mukti Ali Qusyairi
TRIBUNNEWS.COM - Pengajian perdana kitab al-Mustasyfa fi 'Ilmi al-Ushul karya Imam al-Gazali yang menjelaskan disiplin ilmu Ushul Fikih digelar melalui zoom pada Rabu 2 Maret 2022 dari pukul 16.00 sampai 18.00. Dipimpin oleh host handal Marbot Rudalku Rumah DaulatBuku Gus Kiyai Soffa Ihsan Soffa yang dengan lincah mengkoordinir jamaah pengajian dari berbagai propinsi dan memoderatori dengan elegan.
Setelah selesai pengajian pukul 17.40. Saya menyerahkan waktu ke host. Lalu host mempersilahkan para jamaah pengajian untuk menyampaikan pertanyaan bebas, apapun saja bisa ditanyakan. Ada seorang jamaah pengajian dari Palembang bernama Toni bertanya, "Bagaimanakah hukumnya Wayang? Sebab ada ustadz yang menyatakan Wayang adalah haram".
Ternyata soal Wayang yang diharamkan oleh Ustadz Khalid Basalama masih belum tuntas, masih dimusykilkan oleh masyarskat, dan Toni pun sebagai representasi masyarakat bertanya. Tentu yang mau dari Toni adalah jawaban dalam perspektif keagamaan. Karena konteksnya sedang pengajian kitab. Pertanyaan Toni pun saya kira sedang meragukan pandangan Basalama. Seolah berkata, "masa sih Wayang haram?!" Atau sebentuk kekagetan, sok. Atau biasa saja hanya ingin memastikan jawaban yang meyakinkan hatinya.
Saya dengan ringan menjawab, bahwa sebagaimana yang dikatakan Imam al-Ghazali di dalam kitab al-Mustasyfa tadi bahwa "al-ahkam al-syar'iyati tsabitatun li-af'al al-mukallafiin khashatan" (hukum-hukum syariat ditetapkan khusus bagi perbuatan-perbuatan orang-orang akil baligh/mukallaf). Di bagian lain, Imam al-Ghazali menyebut dengan redaksi "li-af'al al-insaniyah" (prilaku-prilaku kemanusiaan).
Di dalam Wayang ada dua hal, yaitu wayang itu sendiri dan dalang yang menuturkan kisah-kisah yang mengandung pesan. Jika merujuk penjelasan Imam al-Ghazali tersebut, maka jelas bahwa hukum syariat disematkan kepada dalang sebagai manusia akil baligh, bukan kepada wayangnya. Sebab wayang sendiri adalah sebentuk gambar atau boneka, sarana dan benda yang bukan sesuatu yang berhak disematkan sebuah hukum syariat tertentu.
Wayang sebagai sarana sama seperti golok, pisau, medsos, alat transportasi mobil atau motor, dan sejenisnya. Semua benda dan sarana bersifat bebas nilai, dan tak ada identitas hukum syariat tertentu yang inhern di dalam dirinya. Wayang dan sarana lain itu tak bersalah dan tak selayaknya dipersalahkan. Benda dan sarana itu mulai beridentitas nilai tertentu manalaka digunakan oleh manusia. Sekali lagi, yang dimaksud, identitas nilai itu disematkan pada perbuatan manusianya.
Jika pisau untuk mengiris bawang, sayur mayur, dan daging untuk masak maka halal. Sebaliknya jika digunakan untuk melukai atau membunuh orang maka haram. Sekali lagi yang diharamkan adalah perbuatan melukai dan membunuhnya, bukan pisaunya.
Sebagaimana medsos. Jika digunakan untuk kebaikan, menggelar pengajian, share pengetahuan, sarana edukasi dan pencerahan dan sejenisnya maka medsos bukan hanya halal akan tetapi juga sebagai ladang amal baik bernilai pahala. Sebalik jika digunakan untuk menyebar hoax, kebencian, provokasi, dan fitnah maka haram--lagi-lagi perbuatan buruknya itulah yang diharamkan.
Wayang pun demikian. Jika digunakan oleh sang dalang untuk menuturkan kisah-kisah yang mengandung pesan kebajikan, membentuk karakter, nilai-nilai luhur, dan dakwah maka bukan hanya halal akan tetapi sebagai ladang pahala. Seperti yang pernah dilakoni Walisongo. Sebaliknya jika digunakan oleh sang dalang untuk menuturkan keburuhan, seperti sang dalang beraliran PKI dulu di zaman 60-65an menuturkan lakon "Matine Gusti Allah" atau "Gusti Allah Mantu", maka jelas haram dan tercela. Sekali lagi yang halal dan yang haram di sini adalah perbuatan sang dalangnya, bukan wayangnya.
Lalu bagaimana dengan Wayang sebagai benda yang berbentuk gambar? Jika pengharaman disebabkan karena wayang sebentuk gambar. Bukankah ustadz-ustadz ceramah di medsos dan youtube itu juga sebentuk video yang beirisi gambar dirinya yang bergerak? Ironis dan paradoks bukan? Boleh dikatakan wayang adalah teater gambar atau teater boneka, al-masrahiyat al-surah.
Memang hukum menggambar sendiri diperdebatkan para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa menggambar benda-benda tak bernyawa halal digambar secara komprehensif utuh, sedangkan menggambar binatang yang bernyawa seperti manusia boleh dengan syarat tidak komprehensif utuh. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa halal menggambar binatang yang bernyawa seperti manusia ditampilkan secara utuh komprehensif. Wayang sendiri bukan sebentuk gambar selayaknya manusia secara utuh, di sana banyak modivikasi dan kreasi. Terlebih menurut sebagian ulama yang berpendapat bahwa gambar utuh binatang yang bernyawa adalah halal. Sehingga wayang dalam aspek gambar menurut semua ulama yang berdebat tentang menggambar itu adalah halal. Di sini lagi-lagi yang dihukumi adalah perbuatan menggambarnya.
Walisongo membiarkan candi-candi di tanah Jawa berdiri kokoh. Bahkan melestarikan. Padahal di dinding candi-candi terdapat banyak gambar dalam bentuk pahatan. Seperti relief Ramayana pada Candi Prambanan. Sebagaimana para sahabat Nabi membiarkan eksis Piramida, Spring, Abu Haul yang berbentuk patung pahatan batu di Mesir. Bahkan melestarikan. Para ulama Al-Azhar Mesir pun membiarkan, melestarikan, dan mendukung pemerintah untuk dijadikan tempat wisata yang dikunjungi para tourisme yang hasilnya masuk ke kas negara.
Di sini kita kembali optimis bahwa Islam bukan agama yang menghalang-halangi perkembangan seni rupa, gambar, lukisan, wayang, dan sejenisnya.
Di masa kuno, para ahli kaligrafi Arab pun menggambar berbagai binatang dan sosok manusia dengan huruf-huruf kaligrafi nan indah. Dan ini dipertahankan oleh ahli kaligrafi berikutnya. Seperti ahli kaligrafi membentuk tubuh manusia dengan komposisi kepala manusia digambar dengan bentuk dua lafadz Allah yang berpapasan, tubuh sampai kaki dengan bentuk lafadz Muhammad, tulang rusuk dengan bentuk lafadz Hasan dan Husein. Di rumah saya di Cirebon pun terdapat gambar Burung Garuda Pancasila dalam bentuk kaligrafi Arab peninggalan almarhum ayahanda.
Prilaku para sahabat Nabi, para sufi, ahli kaligrafi Islam, dan Walisongo cukup sebagai rujukan otentik. Bukankan prilaku bersifat kongkrit dan aksiomatik? Lagi-lagi kata Imam al-Ghazali, "al-ahkam al-syar'iyah tsabitatun li-af'al al-mukallafin khashatan".
*Penulis adalah Ketua LBM PWNU DKI Jakarta, Komisi Fatwa MUI Pusat dan Pengampu Pengajian Kitab al-Mustasyfa fi 'Ilmi al-Ushul karya Imam al-Ghazali