Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kisah Insipiratif Kopi Kapal Api: karena 'Gila' Akhirnya Bisa Mendunia

Ternyata di balik kesuksesan kopi kapal api ada sosok yang nekad dan "gila", seorang mantan supir bemo.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Kisah Insipiratif Kopi Kapal Api: karena 'Gila' Akhirnya Bisa Mendunia
Ist
Dari kika: Letjen Pur AM Putranto, Letjen Purn Dr HC Doni Monardo dan Soedomo Founder Kapal Api. 

“Saya sempat bilang, bagaimana kalau gagal? Sebab saya tidak punya pengalaman berkebun kopi,” kata Soedomo kepada perwakilan pemerintan yang menemuinya.

Karena itu suatu keharusan, maka mau-tidak-mau, Soedomo melaksanakan.

Tapi, tidak mau asal membangun perkebunan kopi. Untuk itu ia pergi ke sejumlah negara untuk studi banding. Yang utama ia datangi negeri Belanda.

“Sudahlah. Pendek kata, kalau mau tahu bagaimana Indonesia di masa lalu, pergilah ke Belanda, terutama di Pusat Arsip Nasional Belanda,” katanya.

Pilihan Toraja

Di Belanda ia mendapati catatan-catatan tentang perkebunan kopi. Semua perkebunan kopi zaman Belanda, ada catatannya.

Dibangun sejak kapan, pemiliknya siapa, kapasitas produksinya berapa, sampai bayar pajaknya berapa, tercatat dengan baik.

BERITA REKOMENDASI

“Dari catatan itu saya putuskan ke Toraja Sul Sel. Kopi Toraja kan memang sangat terkenal sejak dulu,” tambahnya.

Tahun 80-an itu pula Soedomo berangkat dari Surabaya ke Makassar, nyambung ke Makale jalan darat, dan nginep semalam.

Esoknya lanjut ke Bittuang di Tana Toraja, lewat jalan rusak sejauh kurang lebih 20 km. Jarak 20 km, ditempuh dalam waktu lima jam, saking hancurnya jalanan ketika itu.

“Begitu sampai, masih harus jalan kaki tiga jam, naik gunung, melintasi sungai. Sesampai di sana, wah… benar-benar masih kelihatan peninggalan Belanda,” kata Soedomo.

Soedomo bawa ransel, sleeping bag, tabung lilin untuk tidur, perlengkapan penerangan sekadarnya, alat masak yang juga sekadarnya.

Mirip orang mau berkemah. “Dingin luar biasa. Sekali ke sana, paling cepat saya dua minggu baru turun. Tapi apa yang saya mau katakan, sampai hari ini, tidak ada untung sama sekali,” ujar Soedomo, pahit.

Soedomo pun berkisah. Tenaga kerja di sana sangat susah diajak sinergi. Berbeda dengan zaman Belanda yang barangkali setengah kerja paksa.

Sesuatu yang tidak bisa lagi digunakan di era kemerdekaan. Suatu ketika, Soedomo membawa tenaga kerja dari Jawa. Bupati tidak berkenan, dan memaksa harus menggunakan tenaga kerja lokal.

Soedomo bersikukuh mempertahankan tenaga dari Jawa dengan dalih, warga di sekitar tidak ada yang bisa mencangkul.

Justru dengan didatangkan pekerja dari Jawa, Soedomo bermaksud mengajarkan penduduk setempat bagaimana mencangkul dan merawat kebun kopi.

Repot Asmara Pekerja

Perkara muncul, ketika para pekerja perkebunan kopi dari Jawa itu lalu menjalin kisah asmara dengan penduduk lokal. Begitu si perempuan hamil, pekerja asal Jawa ini kabur.

“Ini sungguh-sungguh terjadi, ketika suatu hari datang ibu-ibu membawa anak bayi minta pertanggungjawaban…. Wah, siapa yang berbuat, siapa pula yang harus bertanggung jawab,” kata Soedomo sambil berderai tawa.

Atas nama kemanusiaan, Kapal Api menanggung mereka semua, mulai dari persalinan sampai pendidikan.

Bahkan tidak sedikit yang akhirnya bekerja di perkebunan kopi milik Kapal Api.

“Itulah sejarahnya Kapal Api punya banyak anak. Anak manusia beneran… ha… ha… ha….,” tambah Soedomo.

Pameo lama “banyak anak banyak rezeki”, kiranya tak bisa dipungkiri, pas dengan perkembangan Kapal Api. Buktinya, bisnis kopinya makin berkembang.

Saat ini, Kapal Api memiliki 50 kantor cabang dengan jumlah karyawan sekitar 7.000 orang.

Jumlah kendaraan operasional dan distribusi Kapal Api tak kurang dari 850 unit. Praktis, armada Kapal Api menjadi satu perusahaan logistik terbesar di Tanah Air di bawah naungan PT Fastrata Buana.

Soedomo juga mengembangkan bisnis coffee shop dengan brand Excelso. Ia merintis usaha itu sejak 1992.

Hingga tahun 1998, bisnis coffee shop-nya masih merugi. Nah, pasca krisis moneter, usaha itu bangkit pelan-pelan, dan kini sudah berkembang menjadi 150 gerai di seluruh Indonesia.

Mirip teori Rockefeller, maka Soedomo pun menggarap pengembangan pasar, untuk meningkatkan omzet bisnisnya.

“Sampai sekarang, kami masih terus mengedukasi dan mensosialisaikan budaya ngopi kepada masyarakat, utamanya lapisan generasi muda. Makin besar jumlah peminum kopi, makin besar peluang bisnis kopi,” ujar Soedomo berteori.

Takut Hilang Suami

Lumayan panjang daftar ekspansi usaha Soedomo. Selain yang sudah tersebut di atas, masih ada PT. Santos Premium Krimer, produsen produk berorientasi krim.

PT. Sulotco Jaya Abadi merupakan produsen kopi Arabica Toraja yang menjunjung tinggi kualitas.

Kemudian, PT Agel Langgeng, salah satu perusahaan permen dan biskuit terbesar di Indonesia yang didirikan Soedomo pada tahun 1991. Terakhir, Soedomo merambah bisnis kecantikan. Lho!!!

Dengar dulu kisahnya. Dengan pembawaan yang jenaka, Soedomo memulai kisah, bagaimana ia akhirnya nyemplung ke bisnis kaum hawa.

“Saya melihat peluang itu justru ketika makin banyak wanita Indonesia mengenakan hijab. Karena tidak bisa memperlihatkan keindahan rambut sebagai mahkota, maka fokus para wanita beralih ke wajah,” katanya mengawali cerita.

Maka, berbondong-bondonglah kaum wanita ke rumah kecantikan untuk menghilangkan flek di wajah, menghilangkan komedo, menghilangkan tanda-tanda aging (penuaan), memperbaiki alis, dan sebagainya.

“Jangan lupa, mereka berani bayar mahal lho! Ada yang satu paket perawatan sampai 10 juta bahkan 20 juta rupiah,” katanya.

Melihat peluang itu, Soedomo pun mengambil alih perusahaan kecantikan dengan brand Miracle dan Meliderma.

Di Surabaya, kedua klinik kecantikan ini melayani dua kelompok masyarakat. Miracle untuk kelas atas, sedangkan Meliderma menyasar golongan menengah-bawah.

Atas dan menengah-bawah itu bukan sosiografis kelompok usia, melainkan strata ekonomi. “Yang punya kebutuhan perawatan wajah itu adalah wanita usia 30 tahun ke atas. Dan umumnya, usia segitu adalah wanita-wanita mapan, baik wanita karier maupun istri pejabat atau istri pengusaha,” tambah Soedomo.

Awalnya, ada saja yang mencemooh, “Wah… pak Domo sekarang bisnis salon kecantikan. Banyak cewek-cewek….” Berkata begitu Soedomo tertawa. Lalu ia melanjutkan.

“Saya bilang begini. He… saya kasih tahu ya…. Yang datang ke salon saya itu bukan cewek-cewek ABG, tapi wanita-wanita yang takut kehilangan suaminya. Makanya mereka harus perawatan supaya selalu tampil cantik.” Lagi-lagi Soedomo tertawa sendiri dengan sanggahan atas cemoohan segelintir orang tadi.

Instink Soedomo benar. Kliniknya berkembang sangat baik. Saat ini, sudah ada 20 klinik kecantikan Miracle dan Meliderma di seluruh Indonesia.

“Saya kasih tahu ya bapak-bapak…. Sekarang ini, yang namanya pensil alis, sangat penting bagi wanita,” kata Soedomo dengan ekspresi lucu, dan memancing tawa hadirin.

Kolaborasi

Doni Monardo bersama pengurus PPAD sedari tadi menyimak paparan Soedomo dengan takjub.

“Begitulah kisah pak Soedomo mengembangkan Kapal Api, sampai saat ini berhasil menjadi brand terbesar ketiga di dunia,” kata Doni, disambut tepuk tangan hadirin.

Ke depan, Doni mengajak pengurus PPAD di seluruh Indonesia, utamanya yang memiliki minat, mengembangkan kopi.

Doni sudah beberapa kali menghubungkan produsen kopi di berbagai daerah dengan Kapal Api. “Jadi tidak perlu khawatir masalah off taker. Kita punya pak Soedomo,” katanya.

Melalui kolaborasi, sesuatu bisa dengan mudah ditingkatkan volumenya menjadi besar. Doni kembali menukil sejarah VOC yang sukses besar dengan mengeksploitasi potensi rempah Nusantara. Termasuk kopi.

Sebagai penyuka kopi, Doni paham bagaimana karakter tanaman kopi yang tidak bisa hidup sendiri. Harus ada pohon pelindung.

“Kopi butuh tanaman pelindung lain. Dan akar pohon kopi, menghunjam dalam. Saya pernah minta orang mencabut akar kopi, dan ketahuan panjang akar kopi bisa sampai 1,5 meter. Ini artinya, kopi tidak saja bagus untuk vegetasi yang memiliki fungsi ekologis, tapi juga ekonomis,” tambahnya.

Jadi kalau mau memulai usaha perkebunan kopi, harus ada yang berani merintis.

Doni mencontohkan saat ia menggulirkan program Citarum Harum tahun 2017. Tidak ada dana, dan praktis minim dukungan. Semua berangkat dari nol. Tapi dengan kerja keras dan konsistensi, akhirnya membuahkan hasil.

Saat ini, masyarakat sudah merasakan manfaat Citarum yang bersih, tidak lagi menjadi sungai terkotor di dunia.

Maka, di beberapa tempat, tumbuh spot pariwisata. Ada restorannya, ada cafenya, ada camping ground-nya.

“Pariwisata tumbuh, masyarakat mendapatkan manfaat, dan akhirnya mereka senang memelihara alam,” kata Doni.

Doni juga meminta teman-temannya di PPAD belajar dari kisah sukses Soedomo Mergonoto.

Termasuk kiprah jatuh-bangun membantu masyarakat menggeluti pertanian dan perkebunan. Terakhir, Soedomo bahkan mengembangkan bisnisnya ke bidang kecantikan.

“Kecantikan, akarnya juga dari produk rempah. Jadi, semakin banyak orang Indonesia memiliki sikap dan pola pikir seperti pak Soedomo, negara ini bisa menjadi negara besar dalam waktu cepat,” pungkas Doni Monardo.

Doni Monardo, membawa cakrawala baru dalam pemikiran para pengurus Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD). “Saya ajak pengurus ke sini, supaya tahu, bahwa perusahaan kopi terbesar itu adanya di Surabaya,” ujar Ketua Umum PP PPAD itu, di Surabaya, (9/3/2022).

(*/Egy dan Roso)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas