Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Resensi Buku: Dialektika Digital atau Imperialisme?
Di satu sisi teknologi digital membebaskan manusia, tapi di sisi lain revolusi digital membuat manusia berada dalam penguasaan teknologi.
Editor: Hasanudin Aco
Ada tesa, antitesa, yang kemudian menghasilkan sintesa baru. Tetapi, dalam praktiknya belum lahir sintesa baru dalam pergulatan antara platform digital melawan penerbit.
Yang terjadi adalah hubungan yang timpang di antara keduanya, dengan posisi platform digital yang dominan dan penerbit yang terdominasi.
Kemunculan teknologi digital menjadi disrupsi besar terhadap praktik manajemen media yang selama puluhan tahun sudah mapan. Semua media besar di seluruh dunia- termasuk raksasa media seperti The Washington Post, The New York Time, CNN, The Guardian- harus membongkar praktik manajemennya untuk menghadapi disrupsi digital.
Platform digital menjadi berkah dan sekaligus bencana dari perusahaan media yang sudah menikmati status quo puluhan atau bahkan ratusan tahun.
Kemunculan platform digital merevolusi praktik distribusi dan sirkulasi media, termasuk praktik pencarian iklan yang selama ini menjadi jantung kehidupan media.
Ada tiga platform digital yang menjadi raja dalam bisnis digital global sekarang ini. Mereka adalah Facebook yang menguasai jagat media sosial, Google yang menjadi raja mesin pencari atau search engine, dan Amazon yang mendominasi dunia e-commerce. Trio FGA (Facebook, Google, Amzon) itu bukan perusahaan media, tetapi memperoleh keuntungan triliunan dolar dari bisnis media.
Tiga perusahaan trans-nasional itu mengklaim sebagai perusahaan teknologi dan tidak mau disebut sebagai perusahaan media dengan segala konsekuensi profesional dan etiknya. Padahal dalam praktiknya ketiga perusahaan itu telah menjarah lahan garapan media konvensional.
Inilah ciri khas disrupsi digital yang membuat dunia tunggang langgang. Muncul banyak perusahaan teknologi yang menyerobot lahan garapan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan.
Gojek dan Grab menjadi perusahaan layanan transportasi terbesar di dunia tanpa memiliki satu unit kendaraan pun.
Bukalapak dan Tokopedia menjadi penjual ritel terbesar di Indonesia tanpa punya satu gerai toko pun. Airbnb menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia tanpa punya satu hotel pun.
Kemunculan platform-pltaform ini menjungkirbalikkan praktik bisnis yang sudah mapan di masing- masing dunia industri dan memaksa para raksasa industri untuk bertekuk lutut menyerah kepada praktik baru yang didiktekan oleh perusahaan platform itu.
Industri media juga menghadapi disrupsi yang sama. Trio FGA menjadi ‘’perusahaan media’’ yang tidak mempunyai satu media penerbitan pun.
Nasib perusahaan media di seluruh dunia sama saja dengan nasib hotel, perusahaan transportasi, dan outlet penjualan di seluruh dunia, yang harus menyesuaikan diri dengan praktik bisnis baru yang dikembangkan oleh platform digital.
Inilah fenomena globalisasi yang menjadi keniscayaan yang tidak bisa lagi dihindarkan. Perusahaan media menghadapi ketidakpastian dalam kepastian, dan harus bermain dalam lapangan baru kapitalisme global yang aturan pertandingan dan wasitnya didominasi oleh platform digital.