Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Resensi Buku: Dialektika Digital atau Imperialisme?

Di satu sisi teknologi digital membebaskan manusia, tapi di sisi lain revolusi digital membuat manusia berada dalam penguasaan teknologi.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Resensi Buku: Dialektika Digital atau Imperialisme?
istimewa
Trilogi digital karya Agus Sudibyo; ‘’Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan (2019), ‘’Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara’’ (2021), dan ‘’Dialektika Digital, Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital’’ (2022). 

Ketergantungan ini begitu besar dan berbahaya, karena perusahaan media akan kehilangan identitas dari konsumen media dan dengan demikian akan kehilangan kredibilitas dari pemasang iklan. Para pengiklan lebih suka berhubungan langsung dengan platform media ketimbang dengan perusahaan media. Keberadaan media hanya dilihat dengan picingan mata.

Ketidakdilan yang sempurna. Sebuah perusahaan semacam CNN yang 30 tahu yang lalu begitu digdaya sebagai televisi berita terkemuka di dunia, sekarang bertekuk lutut terhadap platform digital. Perlawanan yang dilakukan menjadi lucu. Alih-alih bergantung kepada FGA, redaksi CNN kemudian menyebarkan distribusi konten pada 21platfom digital (hal. 29).

Entah bagaimana ceritanya Ted Turner bisa menjadi manusia naif seperti itu. Ini sama saja dengan menyerahkan leher kepada 21 orang alih-alih kepada tiga orang. Ibarat burung unta yang memasukkan kepala ke pasir dan menganggap persoalan selesai. Pepatah Inggris mengatakan, Don’t put your eggs in one basket. Ted Turner melakukannya dan meletakkan telur kedalam 21 keranjang, tapi semuanya milik orang lain.

Apa upaya yang dilakukan penerbit untuk mengatasi persoalan ini? Di Eropa aliansi penerbit pernah mencoba melawan FGA. Tapi, dengan sekali tebas saja penerbit sudah terjengkang. Platform digital yang digertak menyerang balik dengan memboikot penerbit. Akibatnya trafik pembaca melorot sampai 80 persen. Penerbit pun angkat tangan menyerah.

Dengan perjuangan keras dan gigih dan dengan campur tangan pemerintah, penerbit di Eropa berhasil mendapat perlindungan melalui undang-undang ‘’Publisher Right’’. Australia menyusul mengundangkan ‘’News Media Bargaining Code’’. Dengan undang-undang itu platform digital dipaksa untuk berbagi hasil dan informasi pelanggan dengan penerbit. Undang-undang ini memberi bantuan nafas kepada penerbit, tetapi tidak menyelesaikan ketimpangan relasi kuasa antara platform digital dengan penerbit.

Relasi kuasa platform digital dengan penerbit disebut sebagai ‘’frenemy’’, friend and enemy. Teman sekaligus musuh. Melihat ketimpangan yang benar-benar jomplang, sebenarnya relasi kuasa itu lebih tepat disebut sebagai ‘’fredator’’ friend and predator. Platform digital sebagai teman tapi sekaligus predator pemangsa.

Di Indonesia, para penerbit tengah merancang strategi untuk menyusun undang-undang yang memberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan jurnalisme demi menjaga ruh demokrasi. Dalam FGD (focus group discussion) yang diselenggarakan Dewan Pers akhir 2021, berbagai strategi menghadapi platform digital didiskusikan. Disimpulkan bahwa Indonesia harus segera menyusun versi ‘’publisher right’’ untuk menjaga eksistensi media nasional.

Berita Rekomendasi

Buku ini cukup tebal dan tidak bisa dibaca sambil tiduran. Tetapi, Gusdib menulisnya dengan ringan dan lancar. Pengalamannya sebagai jurnalis membuat materi buku yang serius ini bisa disajikan dengan ringan tapi berbobot.

Buku ini lebih fokus pada perkembangan di Eropa, Australia, dan Amerika, sehingga tidak memberi perhatian kepada perkembangan di China.

Sebagaimana perang dagang yang terjadi antara Amerika vs China, persaingan digital juga tengah terjadi antara dua negara. China menjadi the emerging forces dengan teknologi digital yang advance.

Amerika dan Eropa melakukan proteksi dengan mencekal teknologi digital China seperti yang terjadi dalam kasus teknologi 5G. Amerika dan Eropa mengeklaim diri sebagai kampiun perdagangan bebas. Tetapi, dalam banyak kasus mereka justru menerapkan kebijakan proteksionistis untuk melindungi kepentingannya.

Distraksi kecil pada buku ini terjadi pada pemuatan grafik dan gambar yang langsung direpro dari sumber aslinya tanpa digambar ulang. Akibatnya gambar tidak terlalu jelas, dan font yang terlalu kecil menyulitkan pembaca.

Dalam sebuah kesempatan Gusdib mengatakan dia bukan seorang sarjana digital. Buku ini disebutnya sebagai ijtihad untuk memberikan kontribusi kepada studi digital di Indonesia.

Dalam tradisi Islam, ijtihad yang dilakukan seseorang akan mendapatkan dua pahala kalau hasilnya benar. Kalau hasilnya salah pun dia masih mendapatkan satu pahala.

Saya yakin Gusdib layak mendapatkan dua pahala. (*)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas