Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Melihat Masa Depan Hongkong di Bawah Dukungan Penuh Pemerintah Beijing
Pascademo anti pemerintah yang melibatkan sekitar 1 juta orangtolak RUU Ekstradisi (2019), persepsi masyarakat internasional tentang Hongkong berubah
Editor: Eko Sutriyanto
Faktanya, ketika ada kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para perusuh terhadap masyarakat sipil, mereka diam saja. AS tidak peduli atas kehancuran yang dialami masyarakat HK akibat kerusuhan.
Ketika krisis tidak dapat diatasi, di depan pers internasional presiden AS (saat itu Trump) dengan mudah lempar batu sembunyi tangan. Ia menyebut separatis HK sebagai perusuh dan itu urusan internal Tiongkok.
Baca juga: Kisah Ibu di Hongkong Dipisahkan dari Bayinya yang Terpapar Covid-19, Sempat Diusir Pihak RS
Ketua Dewan Perwakilan AS Nancy Patricia D’Alesandro Pelosi pernah mengatakan bahwa demonstrasi massal di HK (Juni 2019) adalah pemandangan yang indah untuk dilihat (a beautiful sight to behold).
Sementara ia tidak mengatakan hal yang sama terkait kerusuhan yang terjadi di gedung konggres Capitol Hill, Washington (6/1/2020), meski sedikitnya 4 orang tewas akibat bentrokan antara aparat dan demonstran. Bentuk standar ganda AS yang sesungguhnya.
Diduga, AS melalui CIA dan NED telah menyusun taktik, mengorganisir dan memberi komando dari balik layar atas kekacauan di HK. Tujuan jangka panjangnya: supaya terjadi ‘Colour Revolution’ di Tiongkok.
Adapun tujuan jangka pendeknya adalah, mendapatkan lebih banyak bidak catur untuk kepentingan perang dagang, dan berharap kerusuhan demi kerusuhan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan baru bagi Tiongkok.
Sialnya, kekacauan yang diduga buatan AS tadi, akhirnya tidak terkendali bahkan semakin liar. Sehingga agen rahasianya terpaksa menampakkan batang hidungnya.
Banyak identitas yang terekspose, termasuk penanggungjawab CIA untuk HK. Ini sekandal dan kegagalan operasi yang sangat memalukan. Sebab itu, presiden AS sangat kecewa dengan operasi CIA. Situasi sudah jauh dari skenario awal. Insiden berdarah justru menimpa rakyat sipil; turis asing dan jurnalis.
Padahal, CIA menginginkan, yang jadi korban kebrutalan harusnya demonstran, dan pelakunya adalah aparat keamanan, sehingga AS dapat mengerahkan mesin propagandanya, menggiring opini global untuk mencoreng, menekan pemerintah kemudian menjatuhkan sanksi kepada pemerintah Tiongkok.
Dengan begitu tujuan jangka pendek (memenangkan perang dagang) dan jangka panjang (colour revolution) dapat tercapai dengan mulus.
Setelah insiden tersebut, AS tetap melakukan propaganda secara intensif melalui internet. AS tidak segan memutar balikkan fakta; hitam menjadi putih dan sebaliknya.
Hal ini yang kemudian menyulut kemarahan netizen Tiongkok (mainland). Pemuda dan anak belasan tahun, dengan semangat patriotisme terpanggil untuk melawan kesewenang-wenangan AS dan sekutunya. Lahirlah gerakan yang menamakan dirinya “Ring Rice Girl 814”, “Ekspedisi Diba 817”, dan “Overseas Student Mengurung Perusuh HK pro kemerdekaan” dan seterusnya.
Baca juga: Tenaga Kerja Indonesia Jadi Gelandangan di Hongkong, Hidup di Dalam Rumah Kardus di Musim Dingin
Mereka secara sepontan terpanggil untuk melawan opini asing yang menyesatkan. Sebagai gantinya, mereka membangun opini publik yang bisa diakses langsung oleh dunia internasional.
Mereka terpanggil untuk menyuarakan aspirasi mayoritas rakyat Tiongkok. Mereka ikut berjuang membela negaranya melalui media sosial.