Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia
Tunisia bisa merdeka dari protektorat Perancis, sekaligus mengalami modernisasi, berkat kontribusi besar Habib Burguibah.
Editor: Husein Sanusi
Saat itu, penulis mulai memahami mengapa banyak mahasiswi kampus Universitas Zaitunah tidak memakai jilbab. Kampus yang didirikan oleh Burguibah ini memperbolehkan para mahasiswi tidak berhijab.
Bahkan untuk pelajar setingkat SMP dan SMA seolah dilarang berhijab. Hal itu itu penulis saksikan sendiri, ketika melihat anak-anak setingkat SMP dan SMA di Tunisia keluar sekolah tidak ditemukan yang berhijab. Sepertinya kebebasan berhijab dimulai ketika memasuki pendidikan perguruan tinggi.
Sekularisme Burguibah (w. 2000) pada abad 20 masih terasa hingga paruh kedua abad 21 ini. Penulis berterima kasih pada Gus Dubes Zuhairi Misrawi, yang telah menjadi partner diskusi tentang sejarah, tokoh, dan situasi sosial-religius selama di Tunisia. Sekularisme Habib Burguibah memang pantas disejajarkan dengan Kemal Ataturk di Turki.
Sayangnya, modernisme dan sekularisme ala Habib Burguibah di Tunisia kurang dipublikasi dan dikaji oleh para pemikir muslim di Indonesia, sehingga studi kritis atas pemikiranya kurang terdengar, beda halnya dengan Kemal Ataturk Turki, Berbagai kajian kritis akan pemikirannya banyak di jumpai, mungkin karena saat itu Kemal sebagai kekuasaan Tunggal Khilafah Islam Turki Otsmani, sedangkan Burguibah yang baru muncul 30 tahun kemudian hanya dianggap sebagai pengikut pemikiran Kemal Ataturk.
Tentu saja reformasi dan moderenisasi yang dilakukan Burguibah banyak sisi positifnya karena sebagai respon sosial, politik dan ekonomi Tunisia pada saat itu, namun demikian, sekularisme yang dilakukan Burguibah terkesan kebablasan dan melanggar nilai-nilai keberagamaan khususnya agama Islam.
Kita beruntung hidup di Indonesia, sebuah negara yang berlandaskan "pancasila" yang
tentunya tidak menghendaki sekularisme, tapi menghendaki bernegara berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai keberagamaan begitu membumi di Indonesia, tidak berlebihan jika penulis mengatakan "baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur" itulah Indonesia hari ini. []
*Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia,Cirebon, Jawa Barat.