Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia
hahir bin Ali bin Balqasim al-Haddad. Ia lahir di Ibukota Tunis pada tahun 1899.Sejak kecil, Thahir al-Haddad belajar di Kuttab.
Editor: Husein Sanusi
Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia
Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Tak terasa. Sudah lebih satu jam. Penulis, Gus Dubes Zuhairi Misrawi masih terus berdialog. Kali ini tentang diskursus dan gerakan feminisme di Tunisia. Tokoh yang diangkat Thahir al-Haddad, yang juga alumni kampus Zaitunah.
Siapa Thahir al-Haddad? Bagaimana ia bisa menjadi pencetus feminisme?
Nama lengkapnya adalah Thahir bin Ali bin Balqasim al-Haddad. Ia lahir di Ibukota Tunis pada tahun 1899. Keluarganya merantau dari desa ke ibukota. Ia berusia 12 tahun ketika sang ayah meninggal dunia.
Sejak kecil, Thahir al-Haddad belajar di Kuttab. Baru pada tahun 1920, ia menempuh pendidikan di kampus Zaitunah. Karena ia lahir dari keluarga kelas menengah ke bawah, saat belajar di kampus ia juga ikut gerakan serikat buruh.
Baca juga: Dari Zaitunah untuk Dunia dan Budaya Tidak Berhijab di Tunisia
Tidak saja itu, Thahir al-Haddad juga menjadi aktivis politik. Ia bergabung dengan Al-Hizb Al-Hurr Al-Dusturiy (Parti Libre Destourien), sejak 1920 sampai 1930. Di partai politik ini, ia banyak menyuarakan kepentingan kelas buruh.
Bergabungnya Thahir al-Haddad ke partai politik adalah peran besar alumni kampus Zaitunah lainnya. Ia bernama Syeikh Abdul Aziz al-Tsa'alabi. Di bawah supervisi al-Tsa’alabi, Thahid al-Haddad menjadi aktivis sekaligus intelektual sejati.
Sebagai ayah intelektual, al-Tsa’alabi banyak mendukung gerakan dan langkah al-Haddad. Misalnya, banyak intelektual Tunisia yang menyerang pemikiran Thahir Haddad. Sebab, ia dikenal sebagai pemikir muslim modernis, bahkan sekuler.
Salah satu pengkritik keras pemikiran dan gerakan Thahir al-Haddad adalah alumni Universitas Zaitunah lainnya, yaitu Thahir bin Asyur. Ibnu Asyur mengeluarkan fatwa melarang kitab karya al-Haddad.
Penentang Thahir al-Haddad lainnya, yang juga alumni Universitas Zaitunah, adalah Syeikh Muhammad Sholeh bin Murad. Ia menulis buku berjudul "Saiful Haqq 'ala man La Yara al-Haqq," ditujukan menyerang pemikiran Thahir al-Haddad.
Baca juga: Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia
Lebih dari itu, beberapa surat kabar seperti Al-Zahra, Al-Wazir, dan Al-Nahda mengeluarkan artikel yang menuduh kezindikan Thahir al-Haddad.
Ketika itu semua terjadi, Al-Tsa'alabi hadir sebagai benteng pembela pemikiran al-Haddad. Sejak itulah, kiprah dan pemikiran Abul Aziz al-Tsa’alabi sangat mempengaruhi Thahir Haddad. Bahkan, di mata al-Tsa’alabi, al-Haddad adalah segelintir intelektual yang pantas menjadi pendiri Parti Libre Destourien (PLD).
Saking besarnya pengaruh al-Tsa’alabi kepada Thahir al-Haddad, terjadilah peristiwa yang menyedihkan. Al-Haddad merasa dirinya menjadi anak yatim piatu yang kedua kalinya. Pada tahun 1923, al-Tsa'alabi memilih pergi merantau ke Arab Masyriq.
Kepergian al-Tsa’alabi menciptakan prahara batin di hati al-Haddad. Ia dihinggapi rasa bosan tiada taranya, malas berdialog dan berdiskusi dengan kelompok orang-orang PLD yang dianggap telah menyimpang dari cita-cita awal perjuangan.
Baca juga: Tunisia, Sejarah dan Pengaruh Revolusi Melati pada Dunia Arab
Al-Haddad pun banyak menulis. Sebagai seorang aktivis sekaligus penulis, Thahir Haddad banyak melahirkan artikel di berbagai majalah, seperti majalah Al-Ummah, Mursyid al-Ummah, dan majalah Afrikiya.
Pada tahun 1927, Thahir al-Haddad menulis sebuah buku berjudul “Al-'Ummal al-Tunisiyyun wa Zhuhur al-Harakah al-Niqabiyah” (Tunisian Workers and the Emergence of the Trade Union Movement).
Dalam buku tersebut, pemikiran al-Haddad tentang pembelaannya terhadap kaum buruh sangat kentara. Buku karya Thahir al-Haddad tersebut di atas disita oleh pemerintah kolonial Perancis. Pemerintah melarang perederan buku tersebut, karena dianggap berpotensi menciptakan kekacauan sosial.
Dari banyak tulisan inilah, kita bisa dengan utuh membaca pemikiran Thahir Haddad. Tampaknya, ia sedang memperjuangkan gagasan feminisme. Sebagai catatan, gerakan pertama feminisme Eropa dimulai pada tahun 1800-an. Sedangkan al-Haddad lahir pada 1899.
Di sisi lain, kebudayaan dan tradisi intelektual Tunisia bersentuhan langsung dengan Eropa, khususnya Perancis. Tunisia adalah mantan koloni Perancis. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan Eropa ke Tunisia sangat terbuka lebar.
Baca juga: Gus Dubes Tunisia Zuhairi Misrawi dan Negeri Lumbung Peradaban Islam
Thahir al-Haddad ikut serta mengkampanyekan gagasan feminisme Eropa di Tunisia. Dari banyak tulisannya, ia menginginkan kebebasan bagi kaum perempuan muslimah. Dengan begitu, perempuan sangat mungkin menjadi pemimpin di tengah masyarakat.
Thahir al-Haddad juga menuntut praktik perceraian yang ditangani secara hukum. Dengan begitu, kaum lelaki tidak bisa semena-mena mempermainkan hubungan suami-istri. Bagi Thahir al-Haddad, kebebasan suami mencerai istrinya harus dibatasi undang-undang positif.
Thahir al-Haddad juga ingin membatasi wewenang hak laki-laki atas istrinya, terutama terkait poligami. Walaupun agama Islam, sebagai agama mayoritas penduduk Tunisia, mengizinkan poligami. Thahir al-Hadad menolak ajaran tersebut dan menganggapkan sebagai kesewenangan lelaki atas perempuan.
Uniknya, Thahir al-Haddad juga mendorong kaum perempuan terjun ke dunia olahraga. Ada banyak kaum perempuan Eropa yang sudah melangkah jauh ke dunia olahraga. Menjadi atlet mewakili negaranya. Dan bersaing dengan kaum lelaki.
Perempuan Tunisia, bagi al-Haddad, harus mampu menyaingi prestasi kaum perempuan Eropa. Tentu saja, kampanye Thahir al-Hadad tersebut menuai banyak kritik. Walaupun pada akhirnya membuahkan hasil manis. Itu sejak terbitnya hukum positif Tunisia tentang Ahwal Shahsyiyah pada 3 Agustus 1956.
Berkat pemikiran Thahir al-Haddad yang dianggap sekuler, modernis, dan zindik ini. Pada gilirannya, masyarakat Tunisia mau menerimanya. Misalnya, pada tahun 2000, berdirilah Team Nasional Sepak Bola Perempuan Tunisia.
Artinya, butuh setengah abad lebih masyarakat Tunisia mau memahami arti penting pemikiran Thahir al-Haddad. Walaupun al-Haddad meninggal pada 1935, ia mestinya bahagia di alam kubur, karena masa depan perempuan Tunisia yang dibayangkannya, perlahan tapi pasti, terwujud menjadi kenyataan.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.