Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Benteng Tradisionalisme Islam di Tengah Sekularisme

umat muslim Tunisia menyadari bahwa Ibnu Asyur tidak mendukung proyek sekularisme yang digawangi oleh anak-anak muda Tunisia.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Benteng Tradisionalisme Islam di Tengah Sekularisme
Dokumen Pribadi KH. Imam Jazuli.
Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, Jawa Barat, KH. Imam Jazuli bersama Duber RI untuk Tunisia di Tunisia, Selasa (13/12/2022). 

Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Benteng Tradisionalisme Islam di Tengah Sekularisme

Catatan Perjalanan K.H. Imam Jazuli, Lc.MA.*

TRIBUNNEWS.COM - Sepulang dari kunjungan ke Universitas Zaitunah, penulis kembali merenungi apa yang sudah dialami dan didapatkan. Di perjalanan pulang, penulis teringat pada satu tokoh lain yang juga alumni Universitas Zaitunah namun tak sempat didiskusikan bersama Rektor Zaitunah.

Dia adalah Muhammad Thahir Ibnu Asyur, kelahiran Tunis 1879, seorang Mufti Malikiyah dengan teologi Asy'ariyah. Ibnu Asyur sempat bertemu juga dengan Muhammad Abduh saat berkunjung ke Tunisia pada 1903. Ia juga berada dalam garis ulama tradisional yang bertolak belakang dengan pemikiran kaum sekuler Tunisia, seperti Thahir Haddad.

Jika Thahir Haddad merupakan intelektual feminis sekuler, Ibnu Asyur membela nilai-nilai Islam tradisional. Misalnya, pada suatu hari di hari Jum'at, Ibnu Asyur tiba-tiba balik ke atas mimbar Masjid Zaitunah. Orang-orang sempat terkejut. Di atas mimbar, Ibnu Asyur menatap seluruh jamaah shalat dan mengajukan pernyataan bernada pertanyaan:

"Nisaukum syakauna ilayya fis sawaqi..." (Perempuan-perempuan kalian mengeluh pada saya di pasar). Ucapan itu dia ulangi sampai dua kali. Semua jamaah shalat tidak ada yang menjawab. Untuk ketiga kalinya, Ibnu Asyur berkata: "la Khoiro fi sholatikum wa nisa'ukum 'ariyyan" (shalat kalian tidak ada gunanya jika istri-istri kalian telanjang). Selesai mengucapkan itu, Ibnu Asyur langsung memerintahkan Imam untuk memulai jamaah shalat.

Baca juga: Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia

Ujian besar yang dihadapi oleh Ibnu Asyur adalah tatkala Presiden Tunisia Habib Burguibah meminta dia agar mengeluarkan fatwa bahwa tidak berpuasa di bulan Ramadhan demi pembangunan negara adalah boleh. Namun, Ibnu Asyur tidak gentar menghadapi tekanan pemerintah. Ia keluar ke hadapan publik melalui saluran telepon.

Berita Rekomendasi

Ibnu Asyur mengatakan dengan tegas: "haram hukumnya bagi seseorang untuk membatalkan puasa tanpa alasan syar'i. Rasulullah Saw adalah benar, dan Burguibah pendusta." Saat mendapat jawaban pahit dari Ibnu Asyur, Habib Burguibah tidak berani mengambil tindakan lain.

Sikap tegas Ibnu Asyur di hadapan para tokoh sekuler adalah pijakan kuat bagi umat muslim Tunisia. Mereka memiliki pegangan untuk menolak dan melawan kebijakan sekuler pemerintah. Dengan kata lain Ibnu Asyur menjadi benteng Islam tradisional Tunisia.

Sejak itu, umat muslim Tunisia menyadari bahwa Ibnu Asyur tidak mendukung proyek sekularisme yang digawangi oleh anak-anak muda Tunisia. Sebab, sejak sekularisme diperkenalkan, banyak perpisahan Tunisia, tua muda, melepaskan jilbab dan mengenakan pakaian terbuka. Bagi Ibnu Asyur, suami dan orang tua yang membiarkan istri dan putri mereka telanjang maka Ibadah shalatnya tidak diterima di sisi Allah SWT.

Jika Mazhab fikihnya adalah Malikiyah, Mazhab teologi Ibnu Asyur adalah Asy'ariyah. Itu terlihat dari penafsirannya atas ayat 38-39 Al-Baqarah. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa siapapun yang mengikuti hidayah Allah maka ia akan beruntung. Sebaliknya siapapun yang mendustakan ayat-ayat Allah maka ia masuk neraka.

Ibnu Asyur kemudian menjelaskan, perbedaan Mu'tazilah dan Asy'ariyah adalah bahwa Mazhab kami tidak mengharuskan Allah memberikan hidayah kepada manusia. Kalau kita mau kita bisa pakai pendapat Al-Baidhawi tentang hal ini. Sedang masalah iman, ia tidak bisa bertambah dan berkurang pada dirinya sendiri. Iman hanya bisa bertambah dengan mengamalkan ibadah dan berkurang dengan mengingkari hal-hal keyakinan (Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Jilid 1, hlm. 443).

Baca juga: Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia

Dengan tidak mewajibkan apapun kepada Allah, Ibnu Asyur sudah mempertahankan posisi Asy'ariyah. Berbeda dengan Mu'tazilah. Bagi Mu'tazilah, siapapun yang berbuat baik maka Allah wajib memberikan hidayah kepada orang tersebut. Sebaliknya siapapun yang berbuat buruk maka Allah wajib memberikan hukuman pada orang tersebut. Ini adalah bentuk keadilan Allah.

Selain soal hidayah dan keadilan Allah, Ibnu Asyur bisa dipastikan bermazhab Asy'ariyah dari cara dia menafsiri Al-Qur'an. Jika kita mengamati kitabnya yang berjudul At-Tahrir wa at-Tanwir, maka kita bisa melihat Ibnu Asyur kadang kala membiarkan ayat-ayat tertentu tidak ditafsiri dan ayat-ayat lainnya ditafsiri. Ini ciri khas tafsir ulama Asy'ariyah. Ibnu Asyur melakukannya dengan baik.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas