Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menolak Cawapres dan NU Dijadikan Daun Salam
Menjebak kader NU sebagai Cawapres adalah salah satu upaya menjadikan NU sebagai daun salam.
Editor: Husein Sanusi
Menolak Cawapres & NU Dijadikan Daun Salam
*Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
TRIBUNNEWS.COM - Tahukah Anda fungsi daun salam dalam resep makanan? Daun salam dapat menambah aroma masakan, dan masakan terasa lebih gurih.
Bagaimana seandainya representasi daun salam tersebut adalah ormas terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU)? Segalanya sangat mungkin terjadi dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu pada dasarnya adalah tentang mengumpulkan suara. Pemenangnya adalah peraih suara terbanyak. Karena ini hukum demokrasi kita, maka lumbung suara dimana pun akan selalu menjadi "rebutan" bagi setiap kontestan, partai politik (parpol), dan politisi. NU adalah lumbung suara dengan potensi besar itu sendiri.
Apakah patut berbangga bila salah satu kader terbaik NU dilamar oleh banyak Parpol untuk maju pada Pemilu 2024 nanti? Tentu saja jawabannya sangat relatif. Ada beberapa pertimbangan untuk menilai apakah pinangan dari parpol tersebut membanggakan atau malah memilukan. Karenanya, kader NU harus pandai memilih dan memilah yang terbaik.
Pertama, NU tumbuh di tengah ideologi bangsa yang beragam, mulai dari komunisme, nasionalisme, dan Islamisme. Pada tahun 1965, komunisme tumbang. Selebihnya hanya nasionalisme dan Islamisme. Tetapi, di tubuh Islamisme, ada begitu banyak cabang dan ormas yang berbeda.
Sejak Pemilu pertama 1955, di era Orde Lama Soekarno, Islamisme secara umum, termasuk an-Nahdliyyah, tumbang di tangan kelompok berideologi nasionalis. Ir. Soekarno tampil sebagai presiden. Setelah memasuki era Orde Baru Soeharto, Islamisme lagi-lagi bertekuk lutut. Baru saat era Reformasi meletus, Islam An-Nahdliyyah bangkit di tangan NU-PKB yang mengantarkan Islam an-Nahdliyyah dari Pesantren keluar sebagai pemenang.
NU-PKB menghantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hadir sebagai Presiden RI ke-4. Sayangnya, masa keemasan NU-PKB atau Islam Nahdliyyin sangat singkat, dari 1999-2001. Sejak 2002 sampai 2024, hampat seperempat abad, Islam Nahdliyyin tenggelam. Maksimal menjadi seorang Wakil Presiden.
Kedua, Pemilu 2024 nanti sejatinya menjadi momen evaluatif bagi kita semua, khususnya kaum Nahdliyyin. Kita tidak boleh terjebak di dalam pinangan partai politik, yang ingin menjadikan kader NU sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres).
Menjebak kader NU sebagai Cawapres adalah salah satu upaya menjadikan NU sebagai daun salam. Kaum Nahdliyyin yang besar jumlahnya itu didorong untuk memilih kadernya sendiri, yang diplot sebagai Cawapres. Hal itu bisa kita belajar dari keberadaan Cawapres dari NU saat ini, KH. Ma'ruf Amin, sebagai bukti bahwa NU hanya dijadikan alat mendulang suara saja.
Ketiga, sebagai saran evaluatif ke depan, khususnya pada Pemilu 2024 nanti, kader NU tidak boleh maju jika hanya diplot sebagai Calon Wakil Presiden. Maqom yang tepat bagi kader NU adalah maqom Calon Presiden (Capres). Karena itulah, jargon kita adalah: "Siapapun Kader NU yang Maju, Capres Harga Mati!".
Seandainya, ada kader NU yang nekat maju sebagai Cawapres, tentu ia tidak akan menorehkan sejarah emas yang lebih baik dibanding Cawapres NU hari ini. Baru hanya ketika ia nekad maju sebagai Capres, maka ada peluang untuk menjadi lebih baik dari Gus Dur atau setidaknya setara dengan Gus Dur.
Kita tidak bisa membiarkan warga NU dihantui rasa pesimis, merasa kalah dan tidak mampu, serta rendah diri. Warga NU yang tidak memiliki keberanian maju sebagai Capres, ia sedang dijangkiti penyakit inlander di dalam hatinya.
Memang tidak mudah menjadi kader NU sekaligus memiliki keberanian maju sebagai calon presiden. Sebab, warga NU terlalu dininabobokkan menjadi kelompok kelas kedua, khususnya pasca Pemilu pertama 1955. Jika pun sempat menjadi kelompok kelas pertama pada era Gus Dur, namun harus diakui, waktunya sangat singkat. Setelah itu, dilengserkan.
Hari ini mungkin tidak akan ada lagi pelengseran presiden. Tetapi, cara agar kader NU tidak berhasil menjadi Presiden RI dan cukup sekali dalam sejarah, maka posisi terbaik yang akan dipersembahkan adalah cawapres. Mereka akan berharap kader NU sudah merasa puas dengan tawaran cawapres. Na'udzubillah min dzalik. [Wallahu a'lam bis shawab].
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.