Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membongkar Akar Mental Inlander di Kalangan Elite NU
Masalahnya terletak pada mentalitas elite NU. Mereka tidak tahu arti penting jumlah besar secara kuantitas
Editor: Husein Sanusi
Saat itulah, Gus Dur membentuk tim di dalam ormas NU untuk mendirikan PKB, dengan asas Pancasila, tanpa secara eksplisit mengusung politik Islam (hlm. 280).
Yang penting digaris bawahi di sini bukan soal pendirian PKB dan asas ideologis Pancasilanya, melainkan cerita tentang mentalitas para elite NU jaman dahulu.
Para pendahulu berhasil mempertahankan status NU sebagai Ormas Keagamaan, sekaligus membentuk sayap politik bernama PKB. Sekali dayung, visi keagamaan, kebangsaan dan kekuasaab dilampaui.
Sayangnya, elite NU hari ini tidak ada yang melanjutkan perjuangan Gus Dur. Gus Dur mempertahankan NU sebagai ormas keagamaan sekaligus menjadikan PKB wadah aspirasi politik Nahdliyyin.
Elite NU hari ini kecil hati. Tidak ada kader Nahdliyyin yang memiliki keberanian seorang ksatria untuk maju atau mendorong kader terbaik NU menjadi orang nomor satu di negeri ini. Diperparah pola kepemimpinan Gus Yahya di PBNU.
Elite NU pun pada akhirnya tidak punya keberanian maju sebagai calon presiden. Mereka takut melanggar aturan ketua umum, yang melarang Nahdliyyin menggunakan nama NU terjun ke politik. Konflik internal elite NU ini adalah warisan sejarah masa lalu yang dirawat.
Mohammad Sobary (2013), dalam buku "NU dan Keindonesiaan," mencontohkan perolehan suara PKB mencapai 12,46 persen pada Pemilu 1999, lalu turun menjadi 10,57 persen pada Pemilu 2004, dan turun lagi menjadi 5,25 persen pada Pemilu 2009.
Sobary menambahan, menyusutnya suara "Partainya Wong NU" itu tidak lain karena timbul konflik internal di dalam kepengerusuan PKB. Politik praktis menurut Sobary berhasil memecah belah kaum Nahdliyyin.
Konflik internal ini pun berdampak pada mentalitas kader NU, yag semakin pesimis tentang kualitas dirinya, apakah kadernya layak maju menjadi kepala negara, atau tidak.
Sebaliknya, jika elite NU tidak berkonflik saudara tetapi menyatukan suara, maka Partai NU terbukti berhasil mendapatkan 18,41 persen pada Pemilu 1955 dan mendapatkan 18,86 persen Pemilu 1971 (Sobary, 2013: 112).
Seperti pepatah katakan, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Terbukti, selama Orde Lama dan Baru, perolehan suara politik NU sangat besar, dibanding perolehan suara pasca Reformasi. Elite NU saat itu sudah mulai berpecah belah.
Mentalitas orang suka berkonflik saudara itu adalah mentalitas inlander. Lebih dari itu, seorang inlander tidak akan patuh pada keputusan hukum yang berlaku. Buktinya, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan PKB versi Muhaimin Iskandar.
Walaupun keputusan hukum sudah jelas, konflik internal Nahdliyyin terus pecah. Sejak saat itu hingga hari ini, konflik internal Nahdliyyin semakin meruncing. Gus Yahya seakan terus berjuang menjauhkan NU dari PKB.
Menjauhkan NU dari PKB, khususnya pada Pemilu 2024 nanti, akan selalu diingat oleh generasi bangsa. Nahdliyyin memang pintar menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi, dirinya sendiri mempertontonkan konflik internal berkepanjangan.