Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Pemilu dan Demokrasi di Indonesia

Untuk menciptakan pemilu yang bersih dan akutable, Negara telah menyiapkan seperangkat penyelenggara yaitu Komisi Pemilihan Umum

Editor: Daryono
zoom-in Pemilu dan Demokrasi di Indonesia
Tribun Jogja/Suluh Pamungkas.
Ilustrasi Pemilu. 

Dengan sistem proporsional terbuka rakyat secara bebas bisa memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih. Maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih. Maka nantinya calon yang memperoleh suara dukungan rakyat paling banyak yang terpilih . Dengan demikian rakyat diberikan haknya secara penuh untuk memilih wakil-wakilnya dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ada rasa pertanggungjawaban tersendiri bagi anggota legislatif terpilih sebagai pemegang mandat rakyat. Harapannya dari rakyat adalah ada tanggung jawab moral dari para wakilnya yang terpilih tersebut karena calon terpilih tidak hanya mementingkan kepentingan partai politiknya akan tetapi diharapkan membawa aspirasi rakyat pemilih.

Kalau kemudian pada kenyataannya para rakyat Indonesia sebagai pemilih memilih wakil calon anggota legislatif berdasarkan siapa yang memberikan uang bukan dari hati nurani maka ini bukanlah alasan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Menjadi tugas partai politik untuk memberikan edukasi kepada para bakal calon yang menjadi kandidat wakil rakyat agar tidak menggunakan uang sebagai cara mendapatkan suara dari rakyat pemilih serta memberikan pendidikan poltik kepada rakyat baik melalui seminar, reses ataupun pertemuan lain agar masyarakat bisa cerdas dalam memilih calon wakilnya.

Sistem proporsional terbuka yang telah diberlakukan selama tiga kali dalam pemilu, yakni Pemilu 2009, 2014 dan 2019 telah terbukti sukses dengan baik dan demokratis tanpa chaos. Bahkan bagi para wakil yang terpilih ketika yang abai dan lalai sebagai wakil rakyat juga bisa terbukti kena mental dan sanksi langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan dengan tidak terpilih kembali sebagai wakil rakyat di pemilu berikutnya. Hal ini menjadi pelajaran agar siapapun wakil yang terpilih benar-benar mengawal mandate rakyat bukan sekedar mengawal kepentingan partai saja. Inilah hakikatnya demokrasi sejati ada ditangan rakyat.

Lantas bagaimana dengan system dengan proporsional tertutup ? Sistem proporsional tertutup akan berpotensi menutup kompetisi antar sesama kader partai, karena dalam sistem ini para kader partai lebih cenderung melakukan pendekatan kepada elite partai bukan kepada konstituen / rakyat. Sistem proporsional tertutup juga berpeluang menghidupkan oligarki dalam tubuh partai politik. Elite partai bisa sesuka hati merekomendasi para wakilnya berdasarkan like and dislike. Bagi partai politik yang mempunyai tradisi komando yang kuat, otoriter serta berbasis dinasti, sistem proporsional tertutup ini lebih disukai walaupun argument itu tidaklah selamanya benar karena lagi-lagi rakyatlah sebagai pemegang komando demokrasi. Kemudian sistem ini juga bisa melahirkan kader-kader opportunis yang pola komunikasinya lebih mengakar ke atas daripada ke grassroot. Para pegiat demokrasi tentu khawatir dengan sistem proporsional tertutup karena bisa dimanfaatkan oleh para elite parpol untuk melakukan seleksi bakal calon anggota dewan berdasarkan like and dislike. Yang akhirnya para elite partai menjadi elitis dan kurang sense of socialnya serta lambat dalam mengakomodir aspirasi rakyat. Bagi wakil rakyat yang tidak mampu berkomunikasi baik dengan rakyat maka system ini menjadi idaman dan pilihan yang sesuai dengan karakternya.

Sistem proporsional tertutup bukan barang baru karena sebelumnya pernah dilaksanakan di Indonesia. Sistem ini juga bertujuan memberikan kesempatan kepada para bakal calon wakil rakyat yang tidak memiliki capital yang kuat bisa bersaing. Bagi partai politik system proporsional tertutup adalah mencegah liberalisasi demokrasi atau capitalisme demokrasi serta mengembalikan marwah partai politik pada yang semestinya.

Sebaliknya bagi pemerhati demokrasi system proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, karena terkadang para calon legislative enggan turun ke bawah membawakan program –programnya karena segalanya diserahkan ke partai politik . Sosialisasi politiknya lebih pada kampanye akbar dimana disitu lebih menonjolkan partai politiknya daripada komitmen politik pada konstituennya. Terkadang juga pemilih banyak yang tidak kenal dengan daftar list nama calegnya.

Perdebatan system pemilu yang telah bergulir di MK ini sejatinya merekomendasi desain sistem pemilu yang ideal yakni merger system antara proporsional tertutup dan terbuka. Semua system proporsional baik tertutup maupun terbuka menjadi koreksi dan kritik terhadap para penyelenggara negara. Dan secara jujur tetap mengedepankan roh demokrasi yang pass dan ideal tanpa mengebiri hak-hak rakyat sebagai pememgang kedaulatan sejati. Tentu kedua system ini meninggalkan PR terkait persoalaan kompleksitas dan realitas sistem pemilu yang pernah terjadi dalam perjalanan pemilu di negeri ini. Kalau pada akhirnya terjadi system pemilu proporsional tertutup yang dipergunkan nantinya akibat konsensus politik maka sejatinya hulunya di revisi dulu dengan mengamandemen UU kepemiluan sebagai pijakan para penyelenggara pemilu sehingga pemilu 2024 memiliki kredibilitas dan konstitusional. Dalam kondisi yang urgent karena sebentar lagi pemilu serentak 2024 akan berlangsung bahkan sekarang ini proses tahapan pemilu lagi berjalan maka berharap MK menolak usulan dari pihak yang menginginkan proporsional tertutup atau menunda putusan proposional tertutup sampai pemilu ini selesai. Hal ini karena Putusan MK tidak bisa langsung dijalankan para penyelenggara pemilu. Atau mungkin saja tidak dijalankan sama sekali,hal ini pernah terjadi ketika mantan ketua KPK Antasari Ashar mengajukan judicial review tentang peninjauan kembali kasus pidana yang pernah menjeratnya dimana dalam putusannya bahwa peninjauan kembali dalam suatu kasus dapat dilakukan berkali-kali “ . Dan masih banyak lagi putusan MK lainnya yang hanya menjadi penghias saja. Menurut hemat saya putusan MK ditujukan pada lembaga yang diberikan kewenangan untuk menindaklanjuti Putusan MK yakni DPR atau Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Selain hal tersebut, MK berada dalam posisi sebagai lembaga yudikatif (melaksanakan kekuasaan kehakiman) bukan sebagai lembaga legislatif (lembaga yang berwenang membuat Undang-Undang). Kalau akhirnya dipaksakan oleh MK akibat intimidasi atau intervensi politik yang ditakutkan pemilu 2024 menjadi terror konstitusional yang berdampak pada kegaduhan politik .

BERITA TERKAIT

Sebagai pilihan yang tepat dan rasional untuk menyikapi polemik ini adalah jalani pemilu 2024 sesuai Undang-undang yang sudah ada. Para elit politik untuk cooling down sejenak. Jjadilah politisi dan negarawan yang bijak yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Stop sandera menyandera kepentingan kelompok atau golongan utamakan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar yakni bagaimana menciptakan politik yang lebih beradab dan fair dalam berkompetisi. Kemudian rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk terus mengawal proses ini dengan baik(*)

Sumber: TribunSolo.com
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas