Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perjalanan Panjang Seorang Diplomat Dalam Buku Healing The World–Memadamkan Api Perang Dunia III
Buku Unboxing Tiongkok mengupas secara mendalam berbagai aspek tentang perkembangan Tiongkok yang membawa kepada cerahnya perekonomian Indonesia
Editor: Toni Bramantoro
SETELAH DITERBITKANNYA buku pertama Unboxing Tiongkok yang mendapat sambutan luas berbagai kalangan pada 2021 lalu, dua tahun kemudian, Sugeng Rahardjo, diplomat karier, kembali menerbitkan buku berjudul Healing the World – Memadamkan Api Perang Dunia Ketiga', yang diluncurkan di Jakarta pada 26 Juni 2023 lalu.
Berbeda dengan buku Unboxing Tiongkok yang mengupas secara mendalam berbagai aspek tentang perkembangan Tiongkok yang membawa kepada cerahnya perekonomian Indonesia dan dunia, sesuai dengan pengalaman saat menjadi Dubes RI di Beijing pada 2014 – 2017, Buku Healing The World mengupas isu isu aktual yang sekarang sedang terjadi di tengah tengah masyarakat dunia, yaitu sakitnya perekonomian dunia dan juga transisi geopolitik dunia yang sedang bergeser dari Amerika kepada kekuatan ekonomi dunia baru yang lebih seimbang.
Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Bandung yang hadir sebagai narasumber dalam bedah buku tersebut menegaskan dan bahwa buku tersebut perlu dibaca oleh kalangan diplomat, mahasiswa maupun mereka yang punya ketertarikan di bidang diplomasi internasional atau dinamika yang terjadi di dunia saat ini.
'Buku ini mengajak Republik Indonesia untuk lebih mandiri dan lebih peka terhadap kondisi geopolitik yang terjadi saat ini dan mendatang," kata Teuku.
Sementara Sugeng mengatakan, dunia tetap akan dikuasai neokolonialisme, yang ditandai dengan kebijakan zero sum game, yaitu harus ada yang menang dan kalah.
"Sejak Perang Dunia Kedua, kebijakan yang diambil selalu ditandai dengan persaingan yang alih alih sehat, tapi justru menimbulkan ketegangan," jelas Sugeng.
Selain Teuku, bedah buku tersebut juga menghadirkan aktivis mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Pehimpuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Keunikan dari buku ini adalah, semua peristiwa geopolitik dunia ini, tidak diulas dari sudut pandang seorang pengamat, namun sebagai seorang pelaku, yang di uraikan melalui perjalanan hidup dan karir seorang Sugeng Rahardjo.
Baik di mulai dari awal karier sebagai diplomat, melihat dan berada di Amerika Serikat ketika Amerika Serikat menjadi puncak kemajuan dunia dan juga ketika Amerika Serikat berada di terutama perkembangan geopolitik di berbagai belahan dunia dan juga berada di Tiongkok ketika, Tiongkok menjadi pusat kemajuan dunia baru selama satu dekade terakhir.
“Buku ini saya tulis untuk memberikan pengalaman selama hampir 40 tahun terakhir sebagai diplomat, dimana perkembangan dalam negeri dan hubungan internasional tidak merupakan ruang yang kosong tetapi banyak dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, yang apabila tidak mendapatkan perhatian generasi muda, akan menciptakan berbagai tantangan dan kendala dalam menciptakan Indonesia yang lebih makmur, lebih adil dan sejahtera," urai Sugeng Rahardjo yang juga pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Afrika Selatan dan Tiongkok itu.
Buku yang ditulis Sugeng Rahardjo dengan 300 halaman, dalam dua jilid (jilid 1 dan jilid 2), memberi pesan mendalam pentingnya pengelolaan politik luar negeri.
Diplomasi bukanlah sekedar basa basi, melalui acara acara seremonial, tapi harus membawa dan mentransfer kemakmuran negara yang lebih maju kepada Indonesia. Diplomat harus sudah sanggup melihat rekam jejak, siapa teman kita dan siapa bukan teman kita.
Hal ini di suguhkan melalui catatan perjalanan malang melintang di berbagai belahan dunia selama sebagai diplomat, mulai "Operasi Jakarta" di Chile tahun 1973, pembicaraan mengenai utang Indonesia di Paris Club sebagai akibat dari badai krisis moneter pada 1997 – 1998, mempersiapkan kedatangan pemimpin Afrika Selatan Nelson Mandela pada era Presiden Soeharto, serta sepak terjangnya sebagai Irjen dan juga melihat implikasi keadaan kepemimpinan dunia saat ini yang dapat mengancam terjadinya perang dunia ketiga.
Sugeng Rahardjo memiliki pemikiran yang progresif, dimana ia melihat bahwa era Amerika Serikat terus mengalami penurunan bahkan akan berakhir, dan saat ini giliran Asia untuk tampil memimpin dunia.
Apalagi sekarang dunia menyaksikan kehebohan kondisi keuangan Amerika Serikat, negara dengan ekonomi terkuat di dunia, yang ternyata memiliki utang yang sangat besar bahkan terancam gagal bayar.
Buku ini perlu dibaca oleh para politisi yang akan memangku jabatan karena dunia kedepan akan semakin berada dalam suasana yang tidak pasti, dan membutuhkan diplomat-diplomat ulung bukan biasa saja, dan disinilah pentingnya para diplomat muda, calon diplomat, para pebisnis ataupun mahasiswa atau siapa pun juga yang ingin mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi di balik dinamika dunia yang sedang terjadi saat ini.
Sugeng Rahardjo melalui buku ini, mengajak para pemimpin bangsa dan pebisnis merefleksi diri menghadapi situasi dunia yang sedang dalam tekanan besar, apa yang secara subtansial harus dilakukan, sikap 'business as usual' sudah harus ditinggalkan dan melihat dunia dengan paradigma dan pendekatan baru.
Cara cara lama sudah tidak bisa digunakan lagi. Kepentingan diplomasi Indonesia harus mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Dalam penulisan buku tersebut, Sugeng dibantu oleh tim penulis yang terdiri atas Atman Ahdiat, Ardy Bramantyo, Rahmad Nasution dan Sariat Arifia.