Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Doa Anies Baswedan di GBK
Saya khawatir ia terjebak menjadikan podium itu sebagai tempat melemparkan banyak kritik keras pada keadaan yang tak bersahabat.
Editor: Hasanudin Aco
Tapi, secara instingtif saya merasa, jauh lebih baik bagi Anies untuk fokus pada apa yang hendak ia kerjakan.
Secara instingtif saya merasa peluangnya untuk memenangi Pilpres 2024 lebih terbuka dengan fokus memaknai “continuity and change” yang ia pidatokan saat menerima penunjukan Partai NasDem sebagai Calon Presiden, 3 Oktober 2022 lalu.
Yang saya maksudkan fokus, bukanlah bicara soal kesinambungan dan perubahan itu pada tataran gagasan-gagasan besar.
Yang saya maksudkan memaknai itu adalah menegaskan komitmen-komitmen kerjanya yang konkret untuk warga, untuk rakyat, dalam kerangka kesinambungan dan perubahan.
Anies harus fokus pada yang ia tawarkan; bukan pada yang Presiden Jokowi abaikan.
Anies boleh memberi pengantar berupa gagasan-gagasan besar, tapi daging utama komunikasinya harus berupa tawaran-tawaran konkret, jalan keluar bersahaja dari masalah-masalah warga sehari-hari.
Dengan begitu, ia bergerak ke tengah.
Bagi Anies, kanan itu “hanya” titik berangkat; bukan arena utama bermain. Arena utamanya ada di tengah. Sukses Anies di 2024 — dengan asumsi bahwa ia berhasil lolos menjadi kandidat resmi di akhir November kelak — ditentukan seberapa berhasil ia menggarap dan menggalang para pemilih di tengah.
Dalam konteks itu, sibuk mengeritik pemerintahan Presiden Jokowi hanya menimbulkan dua masalah: Jalan di tempat di sisi Kanan (melayani hanya sekitar 30 persen persen atau kurang calon pemilih yang memang anti-Jokowi) dan tak membangun percakapan sehat untuk Pemilu 2024 (hanya menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk debat warganet yang terpancing kritik-kritiknya).
Karena itu sebagai kawannya saya cemas. Cemas bahwa Anies salah memanfaatkan panggung besar yang disediakan Surya Paloh dan Partai NasDem.
Tapi kecemasan saya bertepuk sebelah tangan. Kekhawatiran saya tak terbukti. Alih-alih memaki, Anies berdoa. Sebuah pilihan yang menurut saya, matang, cerdas dan sehat.
Berdoa adalah menghadapkan hamba tak berdaya dengan Tuhan Sang Maha Digdaya.
Berdoa mewakili dua lapis fenomena sekaligus: Horizontal saat Sang Hamba menyapu lingkungan sekitarnya untuk menemukan bahan bagi doa-doanya, dan vertikal-transendental ketika Sang Hamba bersimpuh memohon pada Sang Maha Kuasa lagi Bijaksana. Sang Aziz dan Hakim.
Maka format doa adalah sebuah pilihan cerdas Anies sore itu. Dengan berdoa ia tak menempatkan dirinya berhadapan dengan Presiden Jokowi dan barisan di belakangnya.