Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengukur Soliditas Koalisi 13 Agustus Pengusung Prabowo
Keputusan Partai Golkar dan PAN bergabung dalam KKIR sebenarnya tidak mengejutkan, sebab wacana penggabungan ini sudah mencuat
Editor: Muhammad Zulfikar
Oleh: Husaini Dani
Peneliti ARSC, Alumni Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
TRIBUNNERS - Dinamika politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kini semakin menghangat, terlebih pasca bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) pada 13 Agustus 2023 lalu. Banyak yang memprediksi ikutnya dua partai besar ini ke dalam gerbong dukungan untuk Prabowo Subianto membuat peta koalisi parpol pun ikut berubah dan semakin menguatkan kemenangan Prabowo dalam pertarungan Pilpres 2024.
Keputusan Partai Golkar dan PAN bergabung dalam KKIR sebenarnya tidak mengejutkan, sebab wacana penggabungan ini sudah mencuat sejak beberapa bulan lalu, tepatnya pada 3 April 2023, saat elite partai pendukung pemerintahan mengadakan pertemuan yang dihadiri Presiden Jokowi.
Secara hitung-hitungan Koalisi Gerindra, Golkar, PKB dan PAN sudah memenuhi ambang batas pencalonan presiden. Undang-Undang Pemilu mensyaratkan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi persyaratan perolehan kursi parpol atau gabungan parpol pengusung minimal 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional. Jika ditotal, kekuatan keempat partai politik pendukung Prabowo di DPR sudah melampaui ambang batas pencalonan presiden dengan total 265 kursi atau 46,09 persen.
Meskipun secara hitung-hitungan kursi dinilai sudah cukup kuat, bongkar-pasang koalisi masih mungkin terjadi dan dapat menimbulkan ketidakpastian koalisi. Ketidakpastian koalisi juga didorong oleh belum adanya jaminan koalisi yang sudah terbentuk bisa bertahan sampai masa pendaftaran. Artinya selama nama pasangan capres cawapres belum diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) maka sesunguhnya semuanya masih dapat berubah. Secara rasional, ikatan politik yang valid hanya akan bisa diperhitungkan jika telah mempertimbangkan aspek dinamika politik yang mungkin akan terjadi antara mitra koalisi serta aspek kepastian legal-formal dari koalisi tersebut, dan itu baru bisa dipastikan ketika di hari tenggat waktu pendaftaran Pilpres yakni 25 November 2023 mendatang.
Bicara tentang dinamika politik, mengutip istilah 'No Giant Can Dance' (tidak ada raksasa bisa berdansa), meskipun asumsi ini tidak selalu benar, sepertinya hal ini sangat bisa jadi relevan dengan koalisi gemuk Prabowo dalam Pilpres 2024. Karena partai-partai pendukung Prabowo akan memiliki kepentingan internal yang tentunya punya potensi bertabrakan satu sama lain, khususnya pada kepentingan siapa yang ingin menjadi cawapresnya Prabowo Subianto. Khususnya jika berbicara sosok cawapres potensial seperti Airlangga Hartarto Ketum Partai Golkar, Muhaimin Iskandar Ketum PKB, Zulkilfli Hasan Ketum PAN atau Erick Thohir yang kemungkinan diusung oleh PAN.
Semula kans Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjadi calon terkuat sebagai sosok pendamping Prabowo di Pilpres 2024. Namun kini seolah peluang itu kian menipis pasca hadirnya Golkar dan PAN yang masing-masing membawa calon wapres Prabowo. Secara teori, Prabowo tentu membutuhkan suara PKB untuk bisa merangkul pemilih nahdliyin di daerah yang memiliki basis suara terbesar seperti Jawa. Sementara Golkar, partai terbesar kedua di DPR dan memiliki jaringan politik yang luas dan kuat, tentu membawa nama Airlangga Hartarto sesuai yang diamanatkan dalam munas partai tersebut.
Ketika semua parpol dalam koalisi gemuk Prabowo berambisi untuk menjadi cawapres, maka dalam kondisi demikian kemungkinan eskalasi pergerakan dalam koalisi berpotensi tidak akan produktif karena pertarungan kepentingan yang gagal menemukan konsensus politik. Banyaknya pilihan untuk dapat dijadikan sosok cawapres bisa bermakna dua arti, di satu sisi bagi Prabowo dapat menjadi keuntungan tersendiri karena bisa memilih dan mencari yang terbaik untuk berduet dalam memajukan bangsa Indonesia. Namun di sisi lain, banyaknya pilihan ini juga dapat melemahkan Prabowo, ketika keinginan salah satu kelompok tidak diakomodir maka perpecahan di koalisi ini akan semakin kuat. Apalagi masing-masing partai seperti Partai Golkar, PKB dan PAN memiliki logika dan aspirasi internalnya sendiri yang cukup kuat.
Sangat mungkin untuk terjadi satu atau dua partai akan bergeser, menerima tawaran yang lebih konkrit dari koalisi partai politik lainnya, atau membentuk koalisi baru. Dan beberapa saat lalu terbukti terjadi pertemuan antara Cak Imin dengan Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDI Perjuangan. Pada kesempatan tersebut Cak Imin menyatakan bahwa jika tidak ada kepastian dari Gerindra terkait posisi cawapres dan PDIP memberikan tawaran yang lebih prospektif bagi PKB maka Cak Imin akan menerima opsi tersebut.
Dapat kita simpulkan di sini, Koalisi 13 Agustus antara Gerindra, Golkar, PKB dan PAN masih terlalu dini untuk bisa disebut sebagai koalisi yang penuh kepastian. Situasi politik masih sangat dinamis dan cair.