Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Politik Ken Arok
Baru saja elite-elite Partai Demokrat mencak-mencak. Mereka merasa dikhianati oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan calon presidennya, Anies.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
TRIBUNNEWS.COM - Jika di Republik Romawi ada Marcus Junius Brutus (85-42 SM) yang mengkhianati kaisarnya, Julius Caesar, tahun 44 SM; maka di Nusantara ada Ken Arok (1182-1227) yang mengkhianati Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, dan kemudian mendirikan Kerajaan Singasari di Malang, Jawa Timur, sekaligus menjadi rajanya, tahun 1222.
Itulah politik yang identik dengan pengkhianatan.
Ternyata, politik ala Brutus dan Ken Arok itu terjadi hingga kini di Indonesia, meskipun pengkhinatan itu tidak disertai pembunuhan sebagaimana Brutus dan Ken Arok.
Baru saja elite-elite Partai Demokrat mencak-mencak.
Mereka merasa dikhianati oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan calon presidennya, Anies Baswedan.
Mereka terkena “prank”.
Mereka terkena PHP (pemberian harapan palsu). Pasalnya, Paloh dan Anies akhirnya memilih Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, meskipun kata Paloh belum diformalkan.
Padahal, sudah sejak 14 Juni lalu Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) “dipilih” Anies sebagai cawapresnya berdasarkan bisikan ibunda dan guru spiritualnya.
Maklum, Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang terdiri atas Nasdem, Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberi mandat tunggal kepada Anies untuk memilih cawapresnya.
Bahkan Anies pun sudah berkirim surat pribadi kepada AHY pada 25 Agustus lalu yang meminta putra sulung Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu untuk menjadi pasangannya dalam mengikuti Pilpres 2024.
Namun, ketika akhirnya AHY batal dipilih, maka Paloh dan Anies ibarat menjilat ludah sendiri.
Baca juga: Isi Surat Anies Baswedan Pinang AHY jadi Cawapres di Pilpres 2024, Ditulis Pakai Tinta Biru
Demokrat pun merasa dikhianati. Sontak, partai berlambang Mercy itu pun langsung menurunkan baliho-baliho bergambar wajah mantan Gubernur DKI Jakarta itu di seantero negeri.
Ihwal Anies berkhianat, bila benar apa yang dituduhkan Demokrat, sesungguhnya bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gerindra yang kini maju kembali sebagai capres juga merasa dikhianati Anies.
Pasalnya, saat diajukan sebagai calon gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, katanya Anies berjanji tidak akan maju sebagai capres jika Prabowo maju. Faktanya, kini Anies maju sebagai capres dan kemungkinan besar akan bertarung dengan Prabowo, dan juga Ganjar Pranowo.
Kini, elite-elite Demokrat, tak terkecuali AHY dan SBY tentunya, merasa dikhianati oleh Paloh dan Anies. Tapi pengkhianatan di dunia politik ala Brutus dan Ken Arok, sekali lagi, bukan kali ini saja terjadi di Indonesia.
Pengkhianatan di dunia politik adalah hal biasa. Tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Dan kepentingan dalam politik adalah kekuasaan.
Sebelumnya, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri merasa dikhianati oleh SBY. Pasalnya, menjelang Pilpres 2004, saat dalam rapat Kabinet Gotong-royong, Presiden ke-5 RI itu bertanya adakah anggota kabinet yang akan maju dalam Pilpres 2004, SBY diam seribu bahasa.
Namun, diam-diam di kantornya, Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, SBY justru menyusun kekuatan dan kemudian mendirikan Partai Demokrat dan akhirnya maju sebagai capres dan terpilih, mengalahkan Megawati.
Hingga kini, hubungan SBY-Megawati belum benar-benar pulih.
Megawati pun merasa dikhianati KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Bagaimana bisa mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) itu mau dicalonkan menjadi Presiden, padahal PDIP yang dipimpin Megawati memenangi Pemilu 1999?
Gus Dur pun merasa dikhianati Megawati ketika dilengserkan oleh MPR pada 2021, di mana PDIP justru mendukung pelengserannya dan Megawati pun bersedia menjadi Presiden menggantikannya.
Bukan hanya oleh Megawati, Gus Dur pun merasa dikhianati oleh Amien Rais. Bagaimana bisa Ketua MPR itu membujuk dirinya untuk menjadi Presiden, namun Amien Rais juga yang melengserkannya?
Cak Imin yang akhirnya dipilih Paloh dan Anies sebagai cawapres pun, jika benar nanti demikian, tak jauh dengan politik pengkhianatan ala Ken Arok itu. Masih segar dalam ingatan publik, bagaimana Ketua Umum PKB itu “mengkudeta” Gus Dur, yang tak lain adalah pamannya sendiri, dari kursi Ketua Dewan Syura PKB.
Akibatnya, hingga kini hubungan Cak Imin dengan keluarga Gus Dur, terutama Yenny Wahid, juga belum benar-benar pulih.
Kini, ketika SBY merasa dikhianati oleh Anies, maka Presiden ke-6 RI ini mungkin akan ingat kembali betapa Megawati pun pernah merasa dikhianati oleh dirinya.
Tidak itu saja. Amien Rais juga merasa dikhianati oleh “murid politik” dan besannya sendiri, yakni Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, sehingga mantan Ketua Umum PAN itu hengkang dari partai yang didirikannya kemudian mendirikan partai baru bernama Partai Ummat. Padahal, Zulkifli Hasan menjadi Menteri Kehutanan dan kemudian Ketua MPR atas rekomendasi Amien Rais.
Kisah pengkhianatan baru juga mungkin akan terjadi andaikata pada akhirnya Presiden Joko Widodo lebih memilih mendukung Prabowo Subianto daripada capres dari PDIP, Ganjar Pranowo. Sejauh ini Jokowi masih main dua kaki: sebelah kaki ada di Ganjar, sebelah kaki lainnya ada di Prabowo.
Padahal, pada Pilpres 2014 dan 2019, PDIP-lah yang mengusung mantan Walikota Solo, Jawa Tengah, dan mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai capres. Untuk Pilpres 2014, bahkan Megawati telah mengorbankan dirinya dengan tidak mencalonkan diri lagi, karena ada Jokowi yang elektabilitasnya meroket.
Untuk Pilpres 2024 nanti pun Megawati sudah banyak berkorban, dengan tidak mencalonkan putrinya, Puan Maharani, malah mencalonkan Ganjar karena Gubernur Jawa Tengah itu elektabilitasnya melesat.
Apakah pengorbanan demi pengorbanan Megawati itu akan disia-siakan oleh Jokowi, bahkan kemudian mengkhianatinya dengan mendukung capres selain Ganjar? Biarlah waktu yang bicara.
Hanya saja, jika Jokowi pun akhirnya mengkhianati PDIP dan Megawati, maka akan menambah panjang daftar politikus yang mengadopsi strategi politik ala Ken Arok dan Brutus.
Ken Arok dikutuk oleh Mpu Gandring akan terbunuh dengan keris yang dibuatnya hingga tujuh turunan, dan hal itu ternyata terbukti. Akankah kutukan Mpu Gandring kepada Ken Arok juga terjadi pada capres-capres di Indonesia?
Jika kita runut lebih jauh, Proklamator dan Presiden I RI Soekarno pun merasa dikhianati oleh Soeharto yang saat itu ia berikan mandat untuk memulihkan ketertiban dan keamanan nasional pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Pertanyaannya, sampai kapan politik ala Ken Arok itu terjadi di Indonesia?