Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Palestina-Israel Sebulan Setelah Serangan 7 Oktober 2023
Situasi di Jalur Gaza sebulan setelah serangan 7 Oktober 2023 bertambah buruk. Lebih dari 10.000 warga Palestina tewas akibat bom Israel.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Persis satu bulan sesudah serangan 7 Oktober 2023, situasi dan kondisi di Jalur Gaza dilaporkan bertambah buruk.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza menyebut lebih dari 10.000 orang tewas di Gaza, akibat bombardemen nonstop oleh Israel.
Aksi balasan Israel atas serangan lintas perbatasan oleh Hamas benar-benar menunjukkan kekejaman yang tidak bisa dideskripsikan lagi.
Ratusan bangunan di Gaza hancur lebur, termasuk masjid, gereja, klinik, rumah sakit, kamp-kamp pengungsi yang ditempati warga sipil.
Tak kurang 70 pekerja medis meninggal dunia, belasan jurnalis di Gaza juga kehilangan nyawa. Dari lebih dari 10 ribu korban meninggal, mayoritas anak-anak, perempuan, dan laum lanjut usia.
Benar-benar pembunuhan massal secara sengaja oleh Israel atas dalih aksi bela diri. Semua hukum kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan diterabas.
Resolusi damai Majelis Umum PBB diabaikan. Kecaman dan tekanan negara-negara Arab dianggap angin lalu.
Baca juga: Skenario Israel Memisahkan Gaza Utara dan Gaza Selatan
Baca juga: Siapa Membom Rumah Sakit Al Ahli di Jalur Gaza?
Baca juga: Memori Tragedi Sabra Shatila dan Genosida di Jalur Gaza
Kini di lapangan, pasukan darat Israel mengklaim telah memotong wilayah Gaza menjadi bagian utara dan selatan. Kota Gaza (Gaza City) telah dikepung dari semua arah.
Serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober 2023 menewaskan sekurangnya 1.400 warga Israel dan warga asing juga termasuk kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Tapi konflik Palestina-Israel tentu saja tidak dimulai pada 7 Oktober 2023. Perang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, tanpa ada tanda-tanda solusi damai.
Pembunuhan demi pembunuhan di kedua pihak hanya melahirkan lingkaran kekuasaan tak ada habisnya, dan persoalan geopolitik yang luar biasa rumit.
Sebulan setelah peristiwa berdarah, tekanan publik internasional terasa lebih kuat, dan melahirkan sedikit demi sedikit perubahan sikap di sejumlah kalangan.
Pemerintah AS secara terbuka menyatakan sikap mendukung Israel tanpa syarat. Gedung Putih mengirimkan dua armada kapal induk, kapal selam, sistem rudal THAAD, dan pasukan Marinir.
Armada tempur itu dikerahkan ke Laut Tengah maupun Laut Merah, dan bisa ditebak strategi itu upaya menangkal perluasan konflik yang bisa dipicu serangan dari Yaman dan Iran.
Menariknya, di Kemenlu AS, muncul sikap-sikap yang sangat bertolakbelakang dengan kebijakan Gedung Putih.
Kelompok diplomat muda menandatangani memo semi rahasia, yang berisi seruan agar pemerintah Washington mengutuk Israel, atas pembunuhan warga sipil Palestina.
Kelompok diplomat level menengah itu juga mengecam langkah AS yang menyetujui bantuan senjata dan dana miliaran dolar AS ke Israel.
Seorang pejabat senior Kemenlu AS yang bertanggungjawab atas transfer senjata, mengundurkan diri karena tak setuju kebijakan pemerintahannya ke Israel.
Bias politik dan standar ganda secara jelas ditunjukkan pemerintah AS.
Di satu sisi mendukung Israel tanpa syarat dan menolak usul kegencatan senjata, di sisi lain Washington menyerukan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Dua sikap oportunistik yang sama sekali tidak membantu penyelesaian menyeluruh konflik Palestina-Israel.
Gedung Putih selama bertahun-tahun mendorong solusi dua negara, tapi tidak pernah serius mencegah Israel melakukan perluasan wilayah pendudukan di Palestina.
Apa yang terjadi di Palestina saat ini, wilayahnya semakin menyempit. Permukiman-permukiman baru untuk imigran Israel didirikan secara massal di wilayah pendudukan Palestina.
Para pendatang baru Israel dipersenjatai dan mempersekusi warga Palestina. Mereka mengusir penduduk asli dan meramps rumah dan tanahnya.
Lewat pernyataan terbarunya, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu mengatakan keamanan Gaza akan dikontrol Israel sesudah misi melenyapkan Hamas selesai.
Pernyataan ini menjawab Israel menjalankan misi untuk sepenuhnya bisa mengatur Gaza, yang selama bertahun-tahun dikuasai kelompok Hamas.
Strategi awalnya, menguasai wilayah utara Gaza dengan cara memotong di tengah-tengah lewat serangan darat dari perbatasan darat dan dari araah pesisir.
Wilayah itu akan disterilkan dari Hamas, termasuk menghancurkan sistem terowongan bawah tanah yang jadi kunci sukses perlawanan Hamas.
Selanjutnya akan tercipta perimeter cukup lebar menuju perbatasan Gaza-Israel dan menurunkan potensi terulangnya serangan langsung lintas perbatasan.
Jarak yang semakin lebar itu juga mempengaruhi jangkauan tembak roket-roket Hamas yang selama ini mampu menjangkau kota-kota besar Israel seperti Sderot, Askhelon hingga Tel Aviv.
Apakah Hamas benar-benar bisa dimusnahkan dari Gaza? Pasti tidak mudah, karena kelompok ini lahir dan besar di antara penduduk Palestina.
Hamas sudah menyatu dalam diri sebagian penduduk Palestina, menjadi kelompok perlawanan paling agresif dan punya kemampuan tempur melawan Israel.
Hamas juga mendapat sokongan teknis militer dan bantuan dana dari sejumlah pihak di Timur Tengah.
Hamas sedikit banyak memberi harapan perlawanan Palestina masih ada, ketika Otoritas Palestina yang dikuasai Fatah, terkesan sangat lamban dan lemah menghadapi Israel di wilayah pendudukan.
Sejarah Palestina sudah berusia puluhan hingga ratusan tahun, dan mereka masih muncul sebagai entitas yang paling termarginalkan di Timur Tengah.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)