Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Putusan MKMK: Bukti Independensi Hakim Mahkamah Konstitusi Masih Terjaga
Dalam sejarah, bukan kali ini saja persidangan etik terhadap Hakim MK. Ada beberapa contoh lain, yaitu, perkara etik Hakim Konstitusi
Editor: Muhammad Zulfikar
Oleh Advokat dan Konsultan Hukum, Muhammad Ali Fernandez
TRIBUNNERS - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), telah megeluarkan putusan atas laporan pelanggaran etik yang ditujukan kepada Prof. Anwar Usman, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan delapan hakim lainnya yang terlibat dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 perihal mengubah penafsiran syarat usia minimum untuk Capres dan Cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
MKMK menjatuhkan putusan yang berbeda-beda, namun secara tegas MKMK menolak permintaan untuk melakukan penilaian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi baik itu berupa pembatalan, koreksi atau meninjau kembali in casu Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.
Baca juga: Putusan MKMK Pecat Anwar Usman, Ketua TKN Prabowo-Gibran: Kami Hormati dan Patuhi
MKMK juga menegaskan tidak berwenang untuk membatalkan atau mengkoreksi putusan MK atas dasar dugaan conflict of interest sebagaimana permintaan pelapor. Dimana pelapor menyandarkan dalil permohonannya pada Pasal 17 ayat 8 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MKMK menyerahkan kembali persoalan tersebut pada Mahkamah Konstitusi. Hanya MK yang bisa memeriksa kembali putusannya melalui permohonan judicial review yang baru, meskipun keberlakuannya ke depan atau tidak berlaku surut.
Pelanggaran Etik Hakim Tidak Mempengaruhi Independensi Hakim Lainnya
Dalam sejarah, bukan kali ini saja persidangan etik terhadap Hakim MK. Ada beberapa contoh lain, yaitu, perkara etik Hakim Konstitusi Dr. Patrialis Akbar (17/2/2017). Dimana MKMK menjatuhkan sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Hakim Dr. Patrialis Akbar (PA), karena terbukti melakukan pertemuan dan/atau pembahasan mengenai perkara yang sedang ditangani serta membocorkan informasi atau draft putusan.
Sidang etik saat itu diselenggarakan setelah penetapan tersangka Dr. Patrialis Akbar oleh KPK RI. Namun demikian, tidak ada putusan yang dinyatakan batal atau tidak sah, termasuk putusan yang terkait dengan dugaan pembocoran itu yaitu Putusan Nomor 129/PUU-XIII/2016.
Kemudian, Perkara Ketua MK Dr. Akil Mochtar (1/11/2013). Pada waktu itu, MKMK menjatuhkan sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Ketua MK sekaligus Hakim Konstitusi Dr. Akil Mochtar, karena terbukti mendistribusikan perkara tidak merata, sehingga yang bersangkutan mendapatkan perkara lebih banyak dan ada motif tertentu. Pertemuan dengan salah satu anggota DPR, diruangan kerja Hakim, yang terkait dengan peristiwa penangkapan Dr. Akil Mochtar pada 2 Oktober 2013 karena dugaan penyuapan dan gratifikasi oleh KPK RI, juga menjadi alasan kuat pemberhentian.
Dr. Akil Mochtar ditangkap dan diproses KPK RI dalam dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi terkait perkara sengketa hasil Pilkada di MK, antara lain sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalteng; Lebak, Banten; Empat Lawang dan Kota Palembang, Sumsel; Buton, Sultra; Morotai, Malut; dan Tapanuli Tengah, Sumut.
Yang perlu digaris bawahi, tidak ada satupun putusan MK terkait sengketa mengadili Pilkada yang waktu itu akan dikoreksi, ditinjau atau dibatalkan. Semua orang paham dan mahfum Dr. Akil Mochtar sebagai pribadi dan ketua MK tidak dapat mempengaruhi Hakim MK yang lain karena percaya dengan integritas dan independensi masing-masing Hakim MK.
Hal ini menunjukkan prinsip Independensi Hakim MK yang lain, tidak dapat dipengaruhi dan tidak dapat dinyatakan tunduk kepada Hakim lain, bahkan jika dia termasuk Ketua MK.
Pendirian Konsisten Hakim Dr. Suhartoyo dan Hakim Prof. Guntur Hamzah
Terkait pengujian batas umur pencalonan Capres/Wapres, Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo di putusan No. 29/PUU-XXI/2023 yang salah satu Pemohonnya adalah PSI. Meskipun Mahkamah menolak, Hakim Dr. Suhartoyo memiliki alasan penolakan yang lain. Menurut beliau Pemohon tidak memiliki kerugian aktual maupun potensial atau tidak memiliki legal standing untuk menguji Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Namun, dalam Putusan Nomor 55/PUU-XXI/2023/, dengan Para Pemohon Kepala Daerah, antara lain Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Pandu Kesuma Dewangsa (Wabub Lampung Selatan), Emil Dardak (Wagub Jatim), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo), dan Muhammad Albarra (Wabup Mojokerto), Hakim Dr. Suhartoyo berpendapat Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum dan legal standing karena berkedudukan sebagai penyelenggara negara.
Meskipun Mahkamah menolak, Dr. Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), Hakim Dr. Suhartoyo menilai MK seharusnya mengabulkan permohonan sebagian dengan menyatakan dengan memperluas pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, dengan melekatkan syarat pengganti sepanjang yang bersangkutan pernah menjabat sebagai penyelenggara negara dengan reputasi yang baik. Menurutnya, hal tersebut mencerminkan bahwa pengalaman sebagai penyelenggara dimaksud mempunyai bobot nilai yang lebih substansial dibanding penentuan syarat usia minimal 40 tahun.
Pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Hakim Dr. Suhartoyo kembali pada pendirian bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena permohonan itu ditujukan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri dan tidak ada korelasi dengan Pasal yang diuji. Sehingga MK seharusnya tidak dapat memberi kedudukan hukum. Atas perbedaan pendapat dan pendirian Hakim Dr. Suhartoyo, tidaklah dapat dikatakan dipengaruhi oleh Ketua MK atau oleh siapapun. Termasuk dengan Hakim-hakim yang lain.
Hakim Konstitusi Prof. Dr. Guntur Hamzah, sejak putusan No. 29/PUU-XXI/2023, No. 55/PUU-XXI/2023, No. 90/PUU-XXI/2023, konsisten menyatakan permohonan penafsiran syarat batas usia pencalonan Presiden/Wapres tersebut dapat dikabulkan sebagian berdasarkan prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction).
Menurutnya, ada alasan bagi MK untuk memberikan alternatif batasan usia minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden selain usia 40 tahun, yaitu pengalaman dibidang pemerintahan khususnya pada jabatan elected office yang dipilih rakyat dalam pemilu, termasuk Pilkada.
Secara sederhana, kita dapat saksikan bahwa Hakim MK yang kesembilan orang itu mempunyai pendirian hukum dan pendapat sendiri-sendiri. Dan untuk dapat dipengaruhi atau diintervensi, amat sangat sulit dilakukan.
Hal tersebut tampak dari konsistensi pendirian pendapat Hakim Dr. Suhartoyo dan Prof. Dr. Guntur Hamzah, yang teguh dengan pendapatnya sendiri-sendiri. Dapat disimpulkan, baik Hakim yang mengabulkan atau menolak permohonan memiliki dalil dan konstruksi hukum yang baik dan bersumber dari pikiran dan keyakinannya sendiri.
Baca juga: Peradilan Etik MKMK Dilakukan Terbuka, Anwar Usman: Menyalahi Aturan
“Menggoreng” Urusan Syarat Capres dan Cawapres Untuk Persoalan Politik dan Elektabilitas
Jadi, dapat dipastikan bahwa persoalan mengadili batas minimal usia pejabat negara bukanlah hal baru, melainkan sudah pernah diadili oleh MK sebelumnya. Pendirian MK relatif terbuka terhadap prinsip open legal policy yang selama ini jadi acuan.
MK pernah berpendapat mengabulkan dan menafsirkan ulang batas usia, contohnya dalam putusan 112/PUU-XX/2022 tentang rentang batas usia Komisioner KPK RI antara 50-65 tahun. Hakim yang hari ini menolak tafsiran batas minimal usia Capres dan Wapres adalah Hakim yang menyetujui penafsiran ulang terhadap syarat batas minimal usia komisioner KPK RI.
Pada waktu itu, Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 29 huruf e UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, menjadi “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. Dimana terhadap putusan tersebut hampir dapat dikatakan diputus bulat oleh Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi, kecuali Prof. Dr. Saldi Isra yang memiliki alasan pendapat “concurring opinion”.
Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi antara lain syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata. Pertimbangan lain, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga.
Poinnya adalah Hakim MK itu independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh pihak lain. Jika ada perbedaan pendapat, murni sesungguhnya karena perbedaan argumentasi dan legal reasoning yang didasarkan sepenuhnya pada keilmuan masing-masing.
Sebagaimana perkara Dr. Akil Mochtar dan Dr. Patrialis Akbar, putusan-putusannya tidak diperiksa ulang meskipun ada masalah menjerat mereka, berdasarkan prinsip independensi Hakim, Pun demikian kiranya dalam perkara Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Masing-masing Hakim memiliki prinsip yang berbeda dan tidak bisa diadili. Praktik ini bermula sejak Prof. Jimly menjabat Ketua MK pada tahun 2003, sampai dengan hari ini, tahun 2023. Jika ada yang mengajukan gugatan uji materil baru terkait Pasal 169 huruf q, tentu tidak bisa dilarang. Apapun hasilnya, keberlakuannya adalah untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wapres tahun 2029.
Meskipun, agak disayangkan jika putusan itu diubah karena putusan tersebut sesungguhnya masih dalam lingkup batas independensi Hakim dan menerobos batasan prinsip open legal policy yang selama ini ada. Jika kita berandai-andai, mungkin ada pihak yang mengajukan lagi dengan legal standing yang baru yang lebih baik dan memenuhi syarat, bukan tidak mungkin Dr. Suhartoyo berpendapat mengabulkan. Sehingga, komposisi Hakim yang mengabulkan menjadi 5 orang, sementara Hakim yang menolak menjadi 3 orang.
Jika persoalan syarat usia pencalonan yang berdasarkan hukum dan konstitusi telah mendapatkan jalan yang legal dan konstitusional tetap dipersoalkan bahkan setelah putusan MKMK dijatuhkan, misal dengan meminta Hakim Anwar Usman mengundurkan diri dari Hakim MK atau mempersoalkan kembali Pasal 169 huruf q kembali ke MK dengan dasar adanya putusan Dewan Kehormatan (bukan karena memang kerugian konstitusionalnya terganggu dengan Pasal 169 huruf q), rasa-rasanya kita dapat menduga bahwa yang dicari bukanlah kebenaran dan keadilan, bisa jadi hal ini berkaitan dengan urusan politik dan elektoral semata.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.