Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Markas Legiun Asing Prancis di Ukraina Hancur! Apa Artinya?
Serangan ke Legiun Asing Prancis ini pukulan telak bagi Ukraina, sekaligus menguak fakta betapa dalamnya keterlibatan asing dalam perang Rusia-Ukraina
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Selasa malam, 16 Januari 2024, rudal-rudal Rusia menghantam sebuah bangunan besar di kota Kharkov, Ukraina.
Serangan presisi itu merenggut nyawa sekira 60 orang, puluhan lainnya terluka ringan/berat. Sejumlah kendaraan pendukung dan peralatan perang juga hancur.
Diketahui bangunan itu disulap jadi markas kelompok tentara bayaran Legiun Asing Prancis. Korban tewas dan luka juga anggota kelompok itu.
Serangan ini menjadi pukulan telak bagi pendukung Ukraina, sekaligus menguak fakta betapa dalamnya keterlibatan asing dalam perang Rusia-Ukraina.
Legiun Asing Prancis bukan kelompok militer sembarangan. Mereka sangat terlatih di semua jenis medan pertempuran.
Kiprahnya sudah berpuluh-puluh tahun hasil dari penggemblengan teknik dn taktik tempur modern oleh militer Prancis.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-694: Jerman Kirim Ribuan Pasokan Militer ke Kyiv
Baca juga: Volodymyr Zelenskyy Kembali Minta Barat Percepat Pasok Senjata ke Ukraina
Legiun Asing ini menjadi bagian penting militer Prancis, di berbagai wilayah yang pernah diduduki dan jadi koloninya.
Legiun Asing Prancis bukan model tentara bayaran asal AS, Inggris, dan berbagai negara barat lain yang diracuni euforia pertempuran ala permainan internet (game online).
Kerapkali tentara bayaran yang pergi ke Ukraina ini dianggap pencari sensasi dan dijuluki tentara Tik Tok, yang buru-buru kabur ketika melihat realita kejamnya pertempuran.
Atau semacam para preman dan pembunuh bayaran Kolombia yang pergi berperang ke Ukraina untuk uang.
Selain Legiun Asing Prancis, diyakini berbagai kelompok bersenjata asing beroperasi di Ukraina sebagai bagian operasi rahasia AS, Inggris, Jerman, dan negara-negara NATO.
Di awal perang, gelombang tentara bayaran asing menderas yang kemudian kebanyakan dilenyapkan pasukan Rusia yang sangat terlatih.
Atau mundur teratur pulang ke negaranya melihat kengerian perang. Belakangan, ketika kekuatan militer Ukraina melemah, gelombang baru tentara asing muncul.
Mereka tentara profesional yang dikirim untuk menggantikan pasukan khusus Ukraina yang hampir musnah seluruhnya dalam serangan balik musim panas yang gagal di Ukraina.
Mereka melatih kelompok-kelompok paramiliter berhaluan neo Nazi, yang sejak awal pertempuran jadi tulang punggung Ukraina.
Dari yang sudah ditangkap Rusia, ada sekira 600 tentara asing didakwa melakukan kejahatan perang. Jumlah ini pastinya akan terus bertambah.
Serangan rudal ke markas Legiun Asing Prancis di Kharkov adalah sebuah masalah besar bagi Ukraina dan pendukung baratnya.
Serangan ini diubah dari kemenangan taktis menjadi kemenangan strategis, dan tidak hanya secara fisik, namun juga psikologis, dan di kedua sisi.
Masyarakat di Rusia, dan khususnya di Donbass, dan terutama tentara Rusia meningkat moralnya. Serangan itu juga semakin memperlemah kekuatan Ukraina di garis depan.
Bagi Prancis, ini akan jadi pukulan telak. Mayoritas rakyat Prancis tidak mengetahui secara rinci keterlibatan pemerintah dan militer negara itu di perang Rusia-Ukraina.
Peristiwa ini juga menandai babak semakin runyamnya Prancis menyusul kemunduran pengaruhnya di Afrika Utara.
Di Niger, Mali, dan beberapa negara bekas koloni Prancis, militer negara itu telah diusir. Kemunduran pengaruh juga dialami AS di Afrika dan Timur Tengah.
Keterlibatan Prancis di Ukraina sesungguhnya sudah berlangsung sebelum konflik meletus. Ukraina dijadikan medan perang proksi NATO untuk memperluas pengaruhnya ke timur Eropa.
Agen-agen intelijen Prancis telah lama beropersi di Kiev, dan menjalin kontak intensif dengan tentara bayaran asing selama paruh pertama 2020.
Mantan Presiden Prancis Francois Hollande mengisyaratkan peran Paris yang diremehkan dalam melatih dan memperlengkapi Angkatan Bersenjata Ukraina menjelang krisis.
Dalam sebuah wawancara dengan media Ukraina pada akhir 2022, ia mengatakan Angkatan Darat Ukraina pada 2014 tidak dapat dikenali dibandingkan dengan 2022 berkat perjanjian perdamaian Minsk, yang juga digaransi Prancis.
Para pejabat Rusia memperkirakan Minsk akan menyelesaikan krisis Ukraina, namun pengungkapan Hollande membenarkan pernyataan mantan Presiden Ukraina dan mantan Kanselir Jerman Angela Merkel bahwa Kiev tidak pernah berniat melaksanakan perjanjian damai tersebut.
Kehadiran asing di perang Ukraina ini memperteguh penilaian agresifnya NATO dan tentu AS yang tidak hanya ingin memperlama konflik Rusia-Ukraina.
Pernyataan terbaru Menteri Pertahanan Inggris Grant Shapps menegaskan hal itu. Shapps mendesak sekutu Inggris menggenjot belanja alat perang guna menghadapi perang melawan aliansi Rusia, Tiongkok, Iran, dan Korea Utara.
Shapps memperkirakan perang global itu akan terjadi dalam waktu lima tahun ke depan. Ia menyebut empat negara itu sebagai ancaman eksistensial barat.
Dalam pidato pertamanya sebagai Menhan Inggris Senin lalu, Shapps menggambarkan Inggris sebagai kekuatan militer global terkemuka.
Ia mencatat indikasinya dari rekor anggaran pertahanan negara tersebut sebesar £50 miliar ($63 miliar), serangan udara baru-baru ini terhadap pasukan Houthi di Yaman, dan pengumuman Perdana Menteri Rishi Sunak paket bantuan militer senilai £2,5 miliar ($3,2 miliar) untuk Ukraina minggu lalu.
Shapps bersumpah ia akan lebih meningkatkan belanja militer Inggris, dan ia akan menggunakan pengaruhnya untuk memastikan solidnya sekutu dan teman-teman Inggris lainnya selaras dengan mereka.
“Dalam waktu lima tahun kita mungkin akan melihat berbagai arena (konflik) termasuk Rusia, Tiongkok, Iran, dan Korea Utara,” kata Shaaps dikutip Russia Today.
“Tanyakan pada diri Anda sendiri, dengan melihat konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia saat ini, apakah kemungkinan besar jumlah tersebut akan bertambah atau berkurang? Saya kira kita semua tahu jawabannya. Kemungkinan besar akan tumbuh, jadi tahun 2024 harus menjadi titik perubahan,” katanya.
Inggris menghabiskan lebih dari 2 persen PDB-nya untuk pertahanan dan bertujuan untuk meningkatkan angka ini menjadi 2,5 %, kata Shapps.
NATO mengharuskan anggotanya membelanjakan lebih dari 2 %, namun hanya sepertiga dari 31 anggotanya yang benar-benar memenuhi persyaratan ini.
Shapps bukanlah tokoh senior Inggris pertama yang memperkirakan negaranya akan segera terlibat dalam perang skala besar.
Kepala Staf Umum Inggris, Jenderal Patrick Sanders, menyatakan pada 2022, Inggris harus membentuk tentara yang mampu berperang bersama sekutu kita dan mengalahkan Rusia dalam pertempuran.
Inggris juga harus siap untuk berperang di Eropa. Namun, sekutu Inggris meragukan kemampuan tempur Inggris.
Awal tahun lalu, seorang jenderal senior AS mengatakan kepada Rishi Sunak, Washington menganggap Inggris hanyalah kekuatan militer tingkat dua.
Ini level sama dengan Jerman atau Italia. Jauh dibandingkan kekuatan tingkat satu seperti AS, Rusia, Tiongkok, atau Prancis.
Jenderal Amerika yang berbicara kepada Sky News memperkirakan Inggris memerlukan waktu antara lima dan sepuluh tahun untuk membangun divisi perang baru yang terdiri dari 25.000 hingga 30.000 tentara yang didukung oleh tank, artileri, dan helikopter.
Berbicara kepada wartawan setelah pidatonya, Shapps tidak menjelaskan secara rinci bagaimana potensi konflik dengan Rusia, Tiongkok, Iran dan Korea Utara dapat berkembang.
Dia mengatakan tujuan keseluruhan pidato hari ini adalah untuk memastikan seluruh anggota NATO ikut menanggung beban tersebut dengan meningkatkan pengeluaran militer.
Dari pernyataan dan bukti-bukti tak terbantahkan, perang Rusia-Ukraina tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
NATO masih bernafsu untuk memperkuat pengaruhnya di timur Eropa, hadir langsung di depan gerbang Rusia.
Sebaliknya, Rusia tidak punya pilihan menjauhkan NATO dari halaman depannya, dan tak ada pilihan kecuali lewat pertempuran. Itu harga mati.(Setya Krisna Sumarga, Editor Senior Tribun Network)