Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Jokowi dan Pilpres 2024: Madu atau Racun?

Lirik lagu "Madu dan Racun" yang dipopulerkan Arie Wibowo tahun 1980-an ini tampaknya begitu menggema di benak Presiden Joko Widodo.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Jokowi dan Pilpres 2024: Madu atau Racun?
Dok. Setpres
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan kertas besar memuat Pasal 299 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengatur dibolehkannya presiden melakukan kampanye saat pemilu dengan beberapa syarat, di antaranya tidak ada ikatan keluarga. 

Namanya orang panik, ibarat orang hanyut di kali, apa pun ia jadikan pegangan. Jangankan sebatang pohon, sekerat akar pun akan ia jadikan pegangan, yang penting tidak tenggelam.

Termasuk Pasal 299 dan 281 UU Pemilu.

Kini, di mata Jokowi sudah terbayang "racun" yang akan ia dapatkan dari Pilpres 2024. Sebab itu, segala cara pun ia lakukan. Termasuk dengan menabrak fatsoen politik.

Rusaknya Watak

Mengapa Jokowi mendesakkan Gibran menjadi cawapresnya Prabowo?

Mungkin ia butuh sosok penggantinya yang siap melanjutkan program-program pembangunannya, termasuk pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Jika memang demikian, mengapa harus Gibran? Bukankah Ganjar semula juga siap melanjutkan program pembangunan Jokowi?

Berita Rekomendasi

Di sinilah mantan Walikota Surakarta ini ambigu. Sebab itu, sebagian pihak menilai pencalonan Gibran dilakukan Jokowi karena wong Solo itu takut kehilangan kekuasaan setelah upayanya memperpanjang jabatannya dengan isu tiga periode menemui jalan buntu.

Kita pun jadi ingat adagium Aung San Suu Kyi ketika pejuang demokrasi Myanmar itu menerima hadiah Nobel Perdamaian 1991.

Katanya, "Bukan kekuasasn yang merusak watak, melainkan ketakutan.

Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai."

Apakah Jokowi yang disinyalir takut kehilangan kekuasaan itu berarti telah mengalami kerusakan watak atau karakter?

Jika demikian, alangkah ironisnya, karena selama ini ia selalu menggembar-gemborkan revolusi mental.

Revolusi mental itu ternyata mental. Justru pada diri Jokowi sendiri.

* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas