Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Apa Sih Beda KA Argo Dengan Whoosh

KA Whoosh, kereta api berkecepatan sampai 350 km/jam – sama dengan TGV – train a grande vitesse – milik Perancis dan Shinkansen

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Apa Sih Beda KA Argo Dengan Whoosh
Tribunnews/JEPRIMA
Kereta Cepat Whoosh saat berangkat menuju Bandung dari Stasiun Halim Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) 

*) Oleh Moch S Hendrowijono

KA Whoosh, kereta api berkecepatan sampai 350 km/jam – sama dengan TGV – train a grande vitesse – milik Perancis dan Shinkansen milik JR Jepang jadi kebanggaan bangsa, menisbikan KA kelas premium Argo. Walau panjang rel Whoosh baru 144 km hanya antara Jakarta dan Bandung, sementara Argo Bromo Anggrek beroperasi sepanjang 712 km antara Jakarta dan Surabaya, dari sepanjang 6.320 km rel milik PT KAI (Kereta Api Indonesia).

Sesama KA tetapi teknologinya beda, kecepatannya pun beda pula. Bukan hanya kemampuan pada dapur pacu lokomotif – Argo menggunakan lokomotif disel sementara Whoosh lok listrik – juga rel yang digunakan yang membedakan mereka seperti awan dan bumi. Kecepatan maksimal Argo 120 km/jam di jalur lurus, walau kecepatan tertinggi rata-ratanya hanya 90 km/jam, Whoosh bisa 350 km/jam melaju tanpa guncangan sama sekali.

Rel berat – sekitar 60 kg/meter – sebenarnya mampu mendukung kecepatan, tetapi tergantung cara penyambungannya. Argo dan KA lain yang ditarik lokomotif disel menggunakan rel sempit (narrow gauge) yang lebar antara relnya 1.067 mm yang sebenarnya bisa dilalui KA berkecepatan 150 km/jam. Whoosh berkecepatan tinggi, dan LRT, MRT serta KA Sulawesi menggunakan rel standar (standard gauge) yang lebarnya 1.435 mm.

Baca juga: Mulai Hari Ini, KAI Buka Penjualan Tiket Kereta Api untuk Lebaran 2024

Di teknologi perkeretaapian, cara penyambungan rel memengaruhi kecepatan KA, makin mulus sambungannya, makin cepat KA menitinya. Tak boleh ada rel bengkok, sambungan yang tidak persis atau ada setitik baja sisa pengelasan saat menyambung.

Padahal cara sambungan rel lama kita hanya berupa pemasangan bilah-bilah baja antarrel yang dikuatkan baut-baut, ada jarak (gap) yang sengaja dipasang untuk antisipasi pemuaian. Cara lebih maju, thermite welding, pengelasan panas dengan logam pengisi pada ujung-ujung hingga rel membara kemudian disatukan dan ditekan. Cara ini kadang masih meninggalkan sisa berupa penyambungan yang tidak akurat, atau meninggalkan titik baja sisa pembakaran.

Kedua cara pernah dan masih digunakan di jaringan PT KAI yang masih berefek pada guncangnya ke kiri-kanan atau atas-bawah yang diwarnai bunyi baja berbenturan ketika KA melewatinya. Karenanya rel harus terlihat dan terasa mulus agar KA bisa berkecepatan tinggi, sebab baja sisa pengelasan setebal kuku saja bisa membuat KA terguncang.

Rel yang benjol demikian ini tidak mungkin digunakan kereta cepat, apalagi jika berat relnya kurang dari 60 kg/meter. KA sebenarnya bisa berkecepatan 120 km/jam di jalur yang lurus, walau KA Argo, misalnya, berkecepatan maksimum sekitaran 90 km/jam karena banyaknya tikungan dan halangan.

Berita Rekomendasi

Kondisi sosial menghambat pencapaian kecepatan KA. Perlintasan liar yang terus bertambah sejalan makin padatnya permukiman sepanjang jalur KA sering memaksa masinis menahan kecepatan lokomotifnya. Selalu ada orang lalu lalang melintas rel yang kadang menimbulkan korban jiwa, karena KA melaju tidak mampu berhenti segera setelah tuas rem ditarik.

Kendala lingkungan

KA kelas Argo akan mampu melaju 120 km/jam, bahkan bisa 150 km/jam seperti dirancang Ditjen Perkeretaapian (DJKA) asal sambungan relnya mulus. Lalu perlintasan sebidang resmi atau liar ditutup, diganti perlintasan tidak sebidang, baik underpass (kolong) atau flyover (layang). Kalau ini bisa dilakukan, jalur Jakarta-Surabaya bisa ditempuh Argo Anggrek dalam 5 jam, dari saat ini 8 jam lebih.

Harus dilakukan juga penggantian bogie (perangkat roda KA) dengan bogie bolsterless yang menggunakan pegas udara. Seperti sepanjang jalur KCIC (Kereta Cepat Indonesia – China) yang dilalui Whoosh yang menerobos bukit dengan 13 terowongan di Tanah Parahyangan, dan rel layang sepanjang jalurnya.

Baca juga: Penembakan di Stasiun Kereta Bawah Tanah New York, 1 Orang Tewas, Pelaku Masih Buron

Rel yang sempurna untuk kecepatan tinggi harus halus yang disambung dengan sistem pengelasan flashbutt. Selain Whoosh, pengguna flashbutt barulah sebagian rel KA Sulawesi Makassar – Parepare sepanjang 100 km, MRT (mass rapid transit) Jakarta dan LRT (lite rail transit) Jabodebek, sepanjang 60 km.

Untuk sisa sekitar 6.000 km rel KA milik PT KAI di Jawa dan Sumatera belum ada rencana membuatnya “halus” seperti rel Whoosh. Upaya menyamankan penumpang dan mempercepat perjalanan KA ini tidak akan terjadi segera, dan tidak akan terlaksana hanya dengan pernyataan. Harus ada komitmen semua pihak karena biayanya memang sangat besar.

Kita bisa mencontoh China yang baru mulai membangun KA Cepat tahun 2007 dengan bantuan Alstom, Siemens, Bombardier dan Kawasaki yang sudah memiliki KA cepat TGV, ICE (Jerman), dan Shinkansen. Dari contoh itu China membuat KA cepat versinya sendiri, versi yang juga digunakan Whoosh dan KA Haramain Express, antara Madinah – Mekkah sepanjang 449 km.

Mereka juga mengembangkan kereta super cepat yang senyap, Maglev (magnetic levitation) yang mampu melaju hingga 500 km/jam antara Bandara Pudong dengan Stasiun Longyang, Shanghai. Maglev senyap karena keretanya ‘mengambang’ di atas rel dengan memanfaatkan gaya elektromagnetik – saling tolak antardua kutub listrik – yang menghapus gesekan antara rel dan roda.

Kini China sudah mengoperasikan KA cepat di jalur sepanjang lebih dari 40.000 km dan akan dikembangkan terus hingga 70.000 km pada 2035. Itu termasuk KA cepat yang melintas di atas laut sepanjang 277 km antara Fuzhou dan Xianmen, China selatan.

*) Moch S Hendrowijono, pengamat transportasi dan telekomunikasi.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas