Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Laron-laron Politik Berburu Kuasa

Bila kekuasaan adalah lampu bercahaya terang, maka para politikus adalah laron-laron yang berburu kuasa.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Laron-laron Politik Berburu Kuasa
theodysseyonline.com
Ilustrasi Politik 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Bila kekuasaan adalah lampu bercahaya terang, maka para politikus adalah laron-laron yang berburu kuasa.

Laron atau rayap atau anai-anai masuk ke dalam rumpun Isoptera. Laron disebut juga rayap yang bersayap. Habitat laron adalah area gelap dan lembab, biasanya bersarang pada kayu. Mereka hidup berkoloni.

Nah, di awal musim penghujan, untuk menghindari hawa dingin, mereka terbang mencari area terang dan hangat. Jika ada lampu menyala, mereka akan mengerubunginya.

Selain mencari kehangatan, mereka bertemu satu sama lain, jantan dan betina, lalu berkawin ria dengan melepaskan sayap-sayapnya untuk kemudian berkembang biak dan beranak-pinak.

Namun, laron-laron itu saat kembali menjadi rayap tidak sungkan-sungkan untuk menggerogoti sarangnya, yakni kayu. Maka banyak kayu di rumah-rumah yang dimakan rayap.

Demikianlah amsal politikus. Pemilu/Pilpres 2024 kemarin ibarat awal musim penghujan, sehingga mereka kasak-kusuk ke sana kemari untuk berburu kuasa.

Berita Rekomendasi

Seperti laron-laron berburu lampu. Dan lampu yang bercahaya terang itu adalah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, presiden dan wakil presiden terpilih di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Sebut saja Surya Paloh. Sebut saja Muhaimin Iskandar. Ketua Umum Partai Nasdem dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu merapat dan menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Gibran.

Untuk apa kalau bukan untuk mendapatkan kue kukuasaan, yakni kursi kabinet?

Hal yang sama kemungkinan akan dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun PDI Perjuangan baru akan memutuskan apakah akan menjadi oposisi atau berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 26 Mei 2024.

Padahal, Nasdem, PKB dan PKS semula tergabung dalam Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai capres-cawapres di Pilpres 2024. Namun kini mereka justru berpaling dan beralih mendukung Prabowo-Gibran.

Tanpa basa-basi. Tanpa malu-malu. Tanpa etika dan fatsoen politik. Mereka dengan enteng menanggalkan dan meninggalkan idealisme, bahkan mungkin ideologinya, demi secuil kue kekuasaan. Idealisme dan ideologi mereka barangkali memang kekuasaan.

Adapun PDIP mengusung capres-vawapres, Ganjar Pranowo-Mahfud Md yang bersama Anies-Muhaimin dikalahkan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 dengan selisih suara yang cukup telak. Pilpres pun berlangsung hanya satu putaran.

Kini, para pendatang baru atau "new comers" itu akan berhadapan dengan para politikus yang sudah terlebih dahulu mendukung Prabowo-Gibran. Mereka berasal dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat.

Mereka tentu akan resisten terhadap pendatang baru yang akan mengancam jatah kursi mereka di kabinet. Termasuk Partai Gelora.

Partai gurem pecahan PKS yang gagal melenggang ke Senayan ini sudah pasang kuda-kuda. Gelora menolak masuknya PKS ke dalam Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

Idrus Marham, elite Golkar, mengklaim partainya akan mendapat jatah 5 kursi di kabinet Prabowo-Gibran. Gerindra yang diketuai Prabowo diyakini tak mau kalah. Jatah kursi di mereka kabinet harus lebih banyak.

PAN dan Demokrat pun pasti tidak akan mau hanya 1 kursi seperti di Kabinet Indonesia Maju saat ini. Mereka merasa berkeringat. Kalau parpol yang tidak berkeringat saja dapat jatah kursi menteri, mengapa yang berkeringat jatahnya cuma 1 kursi menteri?

Jika sudah duduk di kursi kabinet, seperti laron, mereka tidak akan sungkan-sungkan menggerogoti kursi kabinet dengan melakukan korupsi. Sejauh ini sudah cukup banyak menteri yang terlibat korupsi.

Pertanyannya, kalau pada akhirnya semua parpol bergabung dan mendukung pemenang, lalu buat apa mereka ngotot-ngototan saat kampanye Pilpres 2024? Para kandidat bahkan bukan hanya saling kritik, melainkan juga saling serang, caci-maki dan menjatuhkan.

Sesungguhnya menjadi oposisi, penyeimbang atau apa pun namanya, tidak kalah terhormat daripada dengan menjadi koalisi pendukung pemerintah. Bahkan keberadaan oposisi sangat penting supaya ada "check and balances" terhadap pemerintahan.

Kalau semua parpol yang ada di DPR RI mendukung pemerintah, lalu siapa yang akan melakukan pengawasan dengan kritis? Jangan-jangan DPR akan kembali menjadi "tukang stempel" kebijakan pemerintah seperti pada era Orde Baru.

PDIP dan PKS, jadilah oposisi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Sebab, seperti kata Lord Acton (1834-1902), "The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely'.

Jangan biarkan mereka yang terpilih menjadi menteri melakukan korupsi seperti laron-laron yang menggerogoti kayu tempat mereka bersarang.

* Karyudi Sutajah Putra:  Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas