Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Raja Bahrain ke Rusia Sinyal Kuat Tergerusnya Hegemoni AS di Timur Tengah
Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa meminta Rusia turut serta dalam konferensi perdamaian Palestina yang digagas Liga Arab.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Peristiwa ini sangat penting, bermakna simbolik namun kurang mendapat perhatian luas publik internasional.
Raja Hamad bin Isa Al Khalifa dari Bahrain menemui Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam kunjungan resmi dua hari ke Moskow.
Bahrain memang negara kerajaan sangat kecil saja di jazirah Arab, namun saat ini memimpi Liga Arab. Bahrain memiliki hubungan spesial dengan Saudi Arabia.
Letaknya sangat strategis di Teluk Arab. Karena itu militer AS sejak lama memiliki pangkalan laut untuk transit kapal perang Pentagon di Bahrain.
Bahrain juga menjalin hubungan khusus dengan Israel berdasar kesepakatan Abraham Accord pada 2020. Posisi ini menjadikan Bahrain unik, sama seperti UEA, Maroko, dan Sudan terkait Israel.
Kepada Putin, Raja Hamad menyampaikan untuk pertama kalinya, Liga Arab bersatu dalam menyerukan diakhirinya perang di Gaza dan konferensi perdamaian harus diadakan.
Dia mengatakan Rusia adalah negara pertama yang dia minta untuk mendukung inisiatif tersebut, dan menyebut Moskow sebagai negara paling berpengaruh di panggung internasional.
Baca juga: Putus Hubungan dengan PM Israel Benjamin Netanyahu, Kolombia Buka Kedubes di Ramallah Palestina
Baca juga: Netanyahu Murka, Ancam Bakal Lakukan Pembalasan ke Negara-Negara yang Akui Palestina
Baca juga: Lagi, Dua Negara di Eropa Bulan Depan Susul Spanyol, Norwegia, dan Irlandia Akui Negara Palestina
Inisiatif Raja Hamad yang memimpin Liga Arab ini dalam konteks lain jelas membalikkan agenda Swiss yang bulan depan menyelenggarakan konferensi penyelesaian konflik Ukraina.
Pendekatan Swiss ini sangat berbeda, karena sama sekali tidak melibatkan Rusia. Realitanya, tidak mungkin ada negosiasi pengakhiran perang di Ukraina tanpa Rusia.
Keputusan Raja Hamad memilih Rusia tentu akan berdampak buruk bagi AS, yang telah lama memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu memediasi Israel-Palestina.
“Pada KTT Arab di Bahrain, situasi di Jalur Gaza dibahas, dan kami ingin perang dihentikan,” kata Raja Hamad.
Menurut Raja Hamad, ada kesepakatan penuh di antara negara-negara Arab mengenai perlunya mengadakan konferensi perdamaian untuk menyelesaikan konflik.
“Rusia adalah negara pertama yang kami tuju dengan seruan untuk mendukung keberadaannya, karena Rusia adalah negara paling berpengaruh di panggung internasional,” lanjut Raja Hamad.
Suara dan pernyataan serta sikap Bahrain ini dipastikan sejalan dengan sikap dan pandangan Arab Saudi, negara terbesar dan paling berpengaruh di jazirah Arab.
Oleh karenanya bisa disimpulkan inisiatif Bahrain ini benar-benar bertolakbelakang dengan sikap kebanyakan negara barat yang mendukung Ukraina serta Israel.
Rusia dipandang sebagai elemen yang sangat menentukan dalam peta politik internasional, selain China tentunya.
Dalam satu decade terakhir, sikap dan pandangan kekuatan Timur Tengah mulai bergeser orientasinya.
Tidak semata tergantung lagi pada kekuatan barat –AS dan sekutu utamanya-- yang hegemonik dan memperlihatkan watak kolonialis imperialis.
Hubungan AS dengan negara-negara kunci di Timur Tengah setelah Perang Dunia II lebih bersifat subordinatif.
AS bertindak sebagai beking militer atau pelindung para elite yang berkuasa, dengan imbal balik konsesi minyak dan kontrol wilayah.
Konflik dan ketegangan sengaja diciptakan dan digoreng-goreng. Sosok kontroversial Moammar Khadaffi dan Saddam Hussein dikapitalisasi untuk menaku-nakuti penguasa Arab.
Persaingan Arab versus Iran dibesar-besarkan, dipancing-pancing lewat isu sectarian persaingan Sunni-Syiah.
Revolusi Musim Panas Arab (Arab Spring) yang dimulai di Tunisia, turut memantik berbagai perubahan sikap elite Arab.
Para penguasa Arab yang datang dari dinasti-dinasti tertentu, menyadari bahaya Arab Spring, dan mulai menghitung siapa paling diuntungkan dari situasi ini.
Semakin lama, para elite Arab juga menyadari betapa konflik-konflik yang menghancurkan Timur Tengah diciptakan barat, demi melanggengkan hegemoni dan kontrol kekuasaan kawasan.
Kelompok kejam ISIS dibangkitkan di Mosul Irak, membesar, lalu menebarkan ketakutan di wilayah Arab. Dari Irak, ISIS bergerak ke Suriah.
Presiden Bashar Assad digoyang dan hendak didongkel menggunakan kehadiran ISIS, dan kelompok-kelompok bersenjata fundamentalis seperti Al Nusra, Al Qaeda, dan kelompok Kurdi.
Kelompok-kelompok Islam bersenjata itu menjadi proksi negara Arab, Turki, AS, Inggris dan sekutunya yang menghendaki destabilitas Suriah.
Beruntung, Rusia hadir di waktu tepat menolong Suriah. Iran juga sukses menolong Irak dan Suriah saat membasmi ISIS.
Kehadiran Rusia di Suriah benar-benar membalikkan situasi. Damaskus yang hampir jatuh, bisa diselamatkan.
Kelompok bersenjata proksi Turki, Arab, dan AS bisa ditangkal dan akhirnya diisolasi di Provinsi Idllib hingga saat ini.
Sementara kekuatan ISIS yang tadinya sempat bercokol di Raqqa, bisa dihancurkan. Hanya wilayah utara Suriah yang sejauh ini tetap dikontrol kelompok paramiliter Kurdistan.
Kelompok Kurdistan inilah yang hingga hari ini jadi sekutu dan pijakan AS di wilayah utara Suriah yang sangat kaya minyak.
Kembali ke inisiatif Raja Hamad dari Bahrain, mengajak Rusia untuk turut memikirkan resolusi konflik Palestina-Israel jelas langkah tepat.
Tata dunia harus dibawa lebih multikutub, daripada seperti yang lalu-lalu saat dunia dikuasai sepenuhnya oleh Washington.
Bagi Gedung Putih, inisiatif pemimpin Liga Arab ini bisa jadi tamparan. Apapaun proses dan hasilnya, pilihan Bahrain ini menjadikan Rusia begitu signifikan di mata Washington.
Kita tidak tahu apa yang akan menimpa Bahrain. Apakah ada konsekuensi politis atas inisiatif dan langkahnya bermesraan dengan Vladimir Putin ini.
Keberanian Bahrain dan Liga Arab yang beralih ke Rusia terlebih dahulu daripada AS atau sekutu regionalnya sekali lagi jelas sinyal penting.
Dominasi atau hegemoni AS berangsur runtuh di jazirah Arab. Sementara mereka bertahun-tahun memainkan peran sangat besar dalam membentuk kawasan ini.
AS menjadi perantara kesepakatan damai Israel dengan Mesir dan Yordania, namun hanya mencapai sedikit kemajuan sejak 1994.
Bagi Rusia, pendekatan ala Bahrain ini menunjukkan reputasi dan prestise internasionalnya yang semakin baik.
Kehadiran Rusia di Suriah juga menunjukkan pengaruh langsungnya di Timur Tengah sangat besar, dan mulai diperhitungkan negara-negara Arab.
Penerimaan sangat baik Raja Saudi Salman bin al-Saud dan Pangeran Mohammad bin Salman terhadap Vladimir Putin di Riyadh juga indikator kuat berubahnya peta politik kawasan Timur Tengah.
Lihat, bagaimana penerimaan dingin dan minimalis dilakukan Sarab Saudi saat Presiden AS Joe Biden berkunjung ke negara tersebut beberapa waktu lalu.
Sikap para pemimpin Arab mau tidak mau memang harus berubah. Mereka harus memperhatikan suara mayoritas rakyatnya dalam konteks konflik Israel-Palestina.
Mayoritas negara Arab dan juga Afrika Utara, mengutuk kekejian elite dan pasukan Israel di Jalur Gaza.
Umumnya, masyarakat di Timur Tengah juga memandang sikap hipokrit kekuatan pelindung Israel seperti AS dan Inggris, sangat membahayakan.
Ketidakadilan begitu nyata terlihat. Arus pendapat global juga kini sudah mayoritas mengutuk destruksi ala Israel yang disokong Washington, London, serta Uni Eropa.
Inilah perbedaan riil dan arus utama isu menyangkut Palestina. Pengakuan Spanyol, Norwegia, dan Irlandia atas eksistensi negara Palestina juga semakin memberi perbedaan.
Di sisi Bahrain, Raja Hamad menjadi satu dari segelintir tokoh Arab yang menyerukan normalisasi hubungan dengan Iran.
“Dulu kita punya masalah dengan Iran, tapi sekarang praktis tidak ada masalah. Tidak ada alasan untuk menunda normalisasi hubungan dengan Iran,” kata Raja Hamad.
Liga Arab dibentuk pada 1945 dan saat ini terdiri dari 22 negara Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Yordania dan Mesir.
Dua negara ini sejak lama memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Disusul UEA, Sudan, Maroko, Bahrain, dan konon berikutnya Arab Saudi.
Sambutan Vladimir Putin terhadap kunjungan Raja Hamad dari Bahrain juga Istimewa. Konon, Putin menyiapkan suvenir berupa satu unit versi panjang super limo sedan Aurus.
Ini bukan cenderamata main-main, karena Aurus limo adalah kendaraan kelas kepresidenan yang juga dipakai Vladimir Putin.
Ini diplomasi kelas langit, yang benar-benar akan mengubah konstelasi politik dunia dari politik hegemonik kolonialis imperialis ala Paman Sam.
Perlahan Washington tidak akan lagi jadi satu-satunya pengatur dan penentu.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)