Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ujian bagi Pancasila: Apakah Masih Relevan dengan Kehidupan Ketatanegaraan Indonesia saat Ini?
Pertanyaan ini terus menyelimuti diskursus anak bangsa paling tidak setahun belakangan ini.
Editor: Malvyandie Haryadi
Dalam sistem kapitalisme liberal, dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, melainkan kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem sosialisme-komunis, negaralah yang justru mendominasi perekonomian, bukan warga negara. (Jimly Asshidiqie:2005).
Dengan demikian, Pancasila hadir sebagai sintesis antara negara kapitalisme-liberal dan sosialisme-komunis.
Dalam hal ini Soekarno mengemukakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua‟, “satu buat semua, semua buat satu.” (Yudi Latief, 2018).
Dilema Berdemokrasi
Bung Karno berkeyakinan bahwa demokrasi Indonesia adalah permusyawaratan-perwakilan, karena kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itu, ialah “Kapal-Persatuan”.
Demi persatuan itu, Soekarno menekankan pentingnya bangsa Indonesia menempuh jalan nasionalisme dan jalan demokrasinya sendiri, yang tidak perlu meniru nasionalisme dan demokrasi yang berkembang di Barat.
Soekarno pun mengingatkan bahwa demokrasi itu pada hakekatnya adalah “pemerintahan rakyat”, yang memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
Dalam Demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi juga dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas. (Yudi Latief: 2018).
Sebagai fundamen kenegaraan, Pancasila menjadi landasan dalam membangun tatanan kehidupan ketatanegaraan yang meliputi seluruh bidang kehidupan, yaitu membangun sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, keamanan, dan hukum.
Jika menilik kompleksitas dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024, tulisan ini mendorong dibuatnya kajian hukum tata negara untuk mengevaluasi sistem pemilu yang akan datang.
Hal ini dikarenakan sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang pada awalnya ingin menumbuhkan demokrasi dalam bernegara justru melahirkan kondisi destruktif yang disebut paradox demokrasi dengan ciri antara lain menjadikan Pemilu Presiden sebagai bussiness as usual, munculnya big man, neopratimonial, clinetelist, informalised dan disordered politics.
Melihat kondisi yang demikian, sebuah langkah komprehensif sudah selayaknya diambil dengan mempertanyakan bagaimana sebaiknya desain demokrasi Indonesia diselenggarakan berdasar nilai-nilai Pancasila?
Penataan itu mutlak dilakukan karena dalam tataran praktis, Pemilu Presiden justru semakin menjauhkan tercapainya esensi permusyawaratan-perwakilan sesuai dengan maksud sila keempat dari Pancasila.
Padahal sejatinya, semangat untuk menegakan nilai-nilai Pancasila merupakan prinsip dasar penyelenggaraan pemilu dan kedaulatan rakyat, yakni kebebasan, kesetaraan, mayoritarian, dan pertanggungjawaban.