Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Masalah Morgan Stanley dan Reformasi Fiskal

Morgan Stanley melihat ketidakpastian arah dari kebijakan fiskal mendatang, beserta kelemahan di pasar valas

Editor: Sanusi
zoom-in Masalah Morgan Stanley dan Reformasi Fiskal
HO
Gede Sandra, Sarjana untuk Indonesia 

Maka diperlukan suatu Reformasi Fiskal yang lebih berkelanjutan: Pertama. Untuk dapat mengurangi beban bunga utang dapat dilakukan teknik semacam bond swap tapi dilakukan antar pemerintahan-bank sentral. Surat utang Indonesia yang berbunga tinggi ditukar dengan surat utang Negara lain yang berbunga rendah (meskipun akan terdapat sedikit resiko kurs).

Peluang suksesnya teknik ini pernah dijajaki beberapa tahun lalu oleh seorang ekonom senior dengan gubernur bank sentral suatu negara, dan ternyata menurut gubernur bank sentral negara tersebut hal ini sangat memungkinkan.

Sederhananya utang lama bunga tinggi ditukar utang baru bunga rendah. Sehingga ke depannya beban pembayaran bunga utang dapat berkurang jauh ke depannya. Selain itu juga, karena pemilik surat utang Indonesia saat ini sudah 86 persen adalah entitas nasional (kebanyakan perbankan nasional) maka proses renegosiasi penurunan bunga utang juga akan lebih mudah dilakukan.

Tindakan ini akan menurunkan margin profit perbankan nasional tapi sangat membantu melonggarkan fiskal Negara, beban bunga utang dapat berkurang separuhnya (atau hampir Rp 250 triliun). Bila beban fiskal sudah mulai berkurang, maka penyisihan anggaran yang sebelumnya untuk bunga utang dapat digunakan untuk pembiayaan program makan siang gratis dan susu untuk bumil.

Kedua. Dengan melakukan relokasi anggaran dari pos-pos sebelumnya yang ternyata kurang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Contohnya adalah anggaran infrastruktur yang tahun ini sebesar Rp 422 triliun sebenarnya dapat direalokasi sebesar Rp 280 triliun untuk membiayai program pembangunan 2 juta rumah (1,1 juta rusun dan 900 ribu rumah tapak) setiap tahun, yang juga merupakan program unggulan Pemerintahan Prabowo. Dengan dibangun 2 juta rumah setiap tahun, maka dalam lima tahun ke depan masalah backlog (kekurangan) perumahan akan teratasi. Pembangunan rumah sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data National Association of Home Builders di AS (https://breachamber.com/how-housing-development-impacts-the-economy/), pembangunan 1 unit rumah dapat menghasilkan 2,17 lapangan kerja baru dan setiap $1 yang dihabiskan untuk pembangunan rumah dapat menghasilkan $3,08 aktivitas ekonomi di komunitas lokal (studi di Orange County).

Anggaplah faktor pengali di Indonesia tidak setinggi di AS (1:3), di sini setiap Rp 1 yang dihabiskan akan menghasilkan Rp 2,5 aktivitas ekonomi. Maka dari Rp 280 triliun anggaran Negara untuk perumahan dapat menghasilkan Rp 560 triliun baru dalam aktivitas ekonomi di masyarakat, atau tambahan sekitar 3,18 persen PDB (sudah mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen!).

Berita Rekomendasi

Ketiga. Meningkatnya rasio pajak akan mengurangi ketergantungan fiskal kita terhadap penambahan utang baru. Fiskal yang lebih mengandalkan pajak akan lebih berkelanjutan ketimbang yang mengandalkan utang dengan bunga tinggi seperti saat ini. Bila rasio pajak kita meningkat sebesar 1 persen, maka ada tambahan Rp 221 triliun baru untuk perekonomian. Bila rasio pajak kita meningkat dari saat ini 10 persen ke 15 persen saja, maka kita akan ada tambahan sekitar Rp 1.100 triliun dana segar yang bukan

berasal dari utang. Bila begini apa lagi perlunya berutang? Mungkin inilah yang membuat belum lama ini Menteri Keuangan kita tidak berani menyusun peta kenaikan tax ratio Indonesia, karena memang beliau hanya pandai berutang. Hanya masalahnya saat ini soal pemungutan pajak sangat lekat dengan korupsi dan kongkalingkong.

KPK pernah mengungkap bahwa 30 persen perusahaan sawit di Sumatera mengemplang pajak. Padahal sektor kelapa sawit menyumbang 33,7 persen dari total devisa hasil ekspor. Selain sawit, sektor ekonomi unggulan Indonesia lainnya adalah pertambangan/minerba. Sudah banyak fakta para pejabat pajak kerap kongkalingkong dengan pengusaha tambang. Seharusnya, dengan mengurangi korupsi dalam pemungutan pajak di sektor sawit dan minerba, tambahan 5 persen tax ratio bukan hal yang sulit.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas