Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bahaya Politisasi Hukum dalam Penyelenggaraan Negara Demokrasi
Hal ini berarti bahwa Indonesia yang merupakan negara hukum juga menganut prinsip-prinsip dalam demokrasi. Prinsip ini merupakan pengejewantahan
Editor: Wahyu Aji
Oleh: Dr I Wayan Sudirta, SH, MH
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
INDONESIA adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Prinsip ini seringkali menjadi kata kunci dan utama atau menjadi bagian pendahuluan dalam berbagai karya tulis dan opini dari para ahli dan sarjana hukum.
Hal ini menjadi sebuah keniscayaan mengingat bahwa seringkali perlu diingatkan kembali bahwa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945 menganut prinsip negara hukum bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Prinsip ini selalu ditegaskan oleh para ahli hukum sebagai landasan utama dalam menjalankan prinsip demokrasi, penyelenggaraan negara, dan berjalannya sistem hukum.
Namun seringkali dalam prakteknya, prinsip ini seperti bias atau sirna karena dalam menjalankan kekuasaannya, cabang-cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif bersama dengan seluruh instrumennya, bertindak melampaui apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip demokrasi, artinya kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini berarti bahwa Indonesia yang merupakan negara hukum juga menganut prinsip-prinsip dalam demokrasi. Prinsip ini merupakan pengejewantahan dari Pancasila.
Negara demokrasi ini kemudian mengandung banyak ciri atau prinsip seperti kedaulatan di tangan rakyat, penyelenggaraan sistem perwakilan (pemilihan umum) yang jujur, adil, bebas, dan bersih, jaminan Hak Asasi Manusia, penyelenggaraaan pemerintahan berdasarkan hukum, toleransi pluralisme atau berkebhinekaan, serta persamaan di muka hukum (equality before the law).
Maka sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut mengatur bahwa “segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Aturan ini menegaskan supremasi hukum dalam penyelenggaraaan kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengandung prinsip atau asas hukum yang telah diakui secara universal dalam suatu negara hukum, yakni kesamaan di muka hukum (equality before the law), keadilan sosial, kepastian hukum, dan pemerintahan yang berdasarkan pada aturan atau hukum, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan dan perwakilan berdasarkan prinsip-prinsip dalam negara demokrasi.
Prinsip pembagian kekuasaan menjadi salah satu implementasinya dimana kekuasaan dibatasi oleh undang-undang dan dilakukan berdasarkan sistem check and balance dalam suatu format ketentuan.
Akan tetapi apa yang terjadi belakangan ini dalam kontestasi politik tentu mengusik beberapa pihak termasuk saya sehingga memilih untuk menuliskan pendapat saya mengenai bagaimana implementasi sistem penegakan hukum dan koridor aturannya (law and enforcement).
Hal netralitas aparatur sipil negara dan institusi, terutama aparat penegak hukum masih menjadi persoalan. Tudingan sebagian pihak dalam Pemilu, baik di Pemilu yang telah berlangsung di masa lalu, maupun yang baru saja terjadi di 2024 lalu yang mengisyaratkan keraguan terhadap netralitas aparat (TNI-Polri) dan sistem penegakan hukum, nampaknya masih belum berakhir. Intervensi atau bahasa di lapangan “cawe-cawe” ini masih bergulir di masyarakat.
Setelah selesai dengan Pemilu 2024, kini kembali bergulir dalam hal Pilkada serentak 2024.