Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Etika Lingkungan dalam Pemilu
Proses demokrasi, melalui pilkada muncul sebagai panggung sentral bagi penangangan isu lingkungan secara efektif
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Benny Sabdo
Anggota Bawaslu DKI Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Limbah pemilu sudah menjadi pemandangan yang lazim. Akhir bulan ini akan memasuki tahapan kampanye pilkada, biasanya alat peraga kampanye dipasang dengan cara dipaku di pohon, dipasang di jembatan layang, jembatan penyeberangan, pinggir rel kereta api, bahkan di jalur sepeda. Pemilu kemarin, alat peraga kampanye yang dipasang serampangan ini memakan korban di jalanan Jakarta.
Pilkada kali ini diimbau para kandidat tidak mengulangi hal yang sama. Isu lingkungan semestinya menjadi salah satu program unggulan. Jakarta memiliki kualitas udara yang sangat buruk.
Persoalan sampah dan kemacetan masih menghantui kita setiap hari. Sebagai barometer politik nasional para kandidat seyogyanya memprioritaskan isu lingkungan di Jakarta.
Mahatma Gandhi mengatakan, bumi memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kita, tetapi tidak untuk keserakahan kita.
Gandhi telah menekankan pentingnya sumber daya alam dan pelestariannya.
Baca juga: Ketua Komisi II DPR Minta Pemilu Ulang Digelar Paling Lama Satu Tahun Setelah Kotak Kosong Menang
Hal ini berdampak langsung pada hubungan manusia dan lingkungan. Pentingnya filosofi Gandhi sangat terasa pada masa kini, di mana gaya hidup manusia telah berkembang ke arah konsumerisme tinggi dan produksi limbah. Hal ini berdampak pada kerusakan lingkungan. Akibatnya, laju penipisan sumber daya alam telah meningkat pesat dan keberadaan racun di udara, air serta tanah telah meningkat pesat.
Buku karya Dr Herwyn J.H Malonda dan Dr F. Ferol Warouw bertajuk “Etika Lingkungan dalam Pemilu” ini menarik untuk dibaca bagi para penyelenggara pemilu dan elit politik di republik ini. Substansi buku ini relate dengan filosofi Gandhi tersebut.
Penyelenggara pemilu sebagai bagian dari representasi suksesnya pelaksanaan pemilu berperan sangat penting dan strategis dalam mewujudkan sikap yang ramah lingkungan, terutama para peserta pemilu. Untuk itu, penyelenggara pemilu dapat menjadi bagian yang mampu mengendalikan kerusakan lingkungan. Kebijakan penyelenggaraan pemilu semestinya memberikan arah untuk kemajuan bangsa yang berwawasan lingkungan (Malonda dan Warouw, 2024:vi).
Proses demokrasi, melalui pilkada muncul sebagai panggung sentral bagi penangangan isu lingkungan secara efektif. Proses demokrasi memberikan wadah untuk memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pilkada seharusnya menjadi wahana, di mana masyarakat memiliki kekuatan untuk memilih pemimpin yang tidak hanya memiliki visi politik, tetapi juga memiliki komitmen pada perlindungan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Peran demokrasi dalam menanggapi isu lingkungan tak hanya mencakup pilihan pemilih, tetapi juga melibatkan pertisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan pemerintah yang ramah lingkungan.
Krisis lingkungan global yang kita alami saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.
Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.
Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.
Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam semesta.
Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Semestinya manusia tidak hanya dilihat sebagai makhluk sosial belaka, tetapi juga sebagai makhluk ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam semesta (Keraf, 2022:xv).
Buku ini merefleksikan hubungan kompleks antara kondisi lingkungan global, perubahan iklim dan proses demokrasi melalui pemilu. Buku ini juga mengupas dampak lingkungan terhadap dinamika politik, menjelaskan bagaimana etika lingkungan menjadi pusat perhatian dalam pembentukan kebijakan dan merinci strategi untuk mengoptimalkan pemilu sebagai sarana untuk mendukung pelestarian lingkungan.
Dengan demikian, buku ini dapat menjadi kompas yang mendalam dan informatif bagi pembaca yang tertarik untuk memahami peran kritis pemilu dalam menjawab tantangan lingkungan global.
Menurut Arne Naess, penulis buku klasik di bidang etika lingkungan, krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal.
Yang dibutuhkan ialah sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Maknanya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.
The last but not least, Sri Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si menyerukan pertobatan ekologis bagi umat manusia. Laudato Si menggugah kesadaran kita untuk membuat bumi menjadi tempat tinggal yang lebih baik bagi seluruh makhluk hidup.
Kita memanggul tanggung jawab lingkungan untuk mengatasi krisis ekologi saat ini, teristimewa para kandidat yang berlaga pada pilkada di seluruh Indonesia pada 27 November mendatang!