Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perang Nuklir : Eropa atau Asia Duluan?
Perang nuklir bisa pecah di Eropa jika AS dan NATO terlibat langsung perang Ukraina. Izin penggunaan rudal jarak jauh oleh Ukraina adalah awalnya.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Kementerian Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon, memerintahkan sebuah studi simulasi dampak perang nuklir pada pertanian global.
Studi akan difokuskan pada wilayah di Eropa Timur dan Rusia Barat, yang tampaknya akan menjadi episentrum penyebaran senjata nuklir hipotetis dalam simulasi tersebut.
Proyek tersebut akan dipelopori Korps Zeni Angkatan Darat AS dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Reka Teknik (ERDC).
Dalam situs layanan pengadaan program pemerintah, ERDC telah memilih Terra Analytics, sebuah perusahaan yang berbasis di Colorado yang mengkhususkan diri dalam visualisasi dan analisis data tingkat lanjut.
Kontraktor potensial lainnya diundang untuk berbagi proposal jika mereka dapat menyediakan layanan serupa.
Pemberitahuan tersebut mencantumkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kontraktor, seperti menyediakan personel, peralatan, fasilitas, pengawasan, dan hal-hal lain yang diperlukan.
Kontraktor perlu memasukkan pemetaan udara dalam simulasi dan memodelkan skenario di mana peristiwa nuklir yang tidak merusak terjadi. Biaya kontrak telah ditetapkan sebesar $34 juta.
Baca juga: China: AS Jadi Ancaman Dunia Jika Terjadi Perang Nuklir
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Janji Lindungi Korea Selatan dari Serangan Nuklir Korut
Baca juga: Akui Siap Lawan AS, Kim Jong Un Tingkatkan Senjata Nuklir Korea Utara
Apa maksud dan tujuan Pentagon menggunakan studi simulasi tersebut. Mengapa pula studinya diarahkan ke Eropa Timur dan Rusia Barat?
Meski mungkin riset simulasi ini bertujuan positif dan bermanfaat untuk semua pihak, namun meninggalkan tanda tanya besar, mengingat muncul bersamaan meningkatnya potensi perang nuklir.
Perang di Ukraina kemungkinan besar akan naik level ketika Amerika memberi lampu hijau kepada Kiev untuk menggunakan rudal jarak jauh melawan Rusia.
Persetujuan itu otomatis akan meningkatkan respon atau balasan Rusia jika Ukraina benar-benar menggempur target jauh di dalam wilayah Federasi Rusia.
Semisal rudal-rudal kiriman Amerika, Inggris dan Prancis itu menghantam kota-kota besar seperti Sankt Petersburg, Murmanks, atau Moskow.
Perang regional otomatis menjadi terbuka melibatkan kekuatan di luar Ukraina, entah itu Amerika, Inggris, Jerman, atau anggota NATO lain.
Sebab, Ukraina tidak mungkin menembakkan rudal jarak jauh buatan barat itu tanpa bantuan sistem penembakan berbasis telekomunikasi dan satelit pemandu posisi atau GPS.
Banyak ahli telah memperingatkan konfrontasi langsung antara Rusia dan blok militer yang dipimpin Amerika dapat mengakibatkan bencana nuklir.
Menurut Federasi Ilmuwan Amerika, Washington dan Moskow mengendalikan persenjataan atom terbesar di dunia, dengan masing-masing memiliki sekira 5.000 dan 5.500 hulu ledak nuklir.
Media The New York Times bulan lalu mengabarkan, pemerintah Amerika telah menyetujui versi baru strategi nuklirnya.
Sebuah dokumen memberi petunjuk dan perintah kepada pasukan Amerika untuk mempersiapkan kemungkinan konfrontasi nuklir terkoordinasi dengan Rusia, China, dan Korea Utara.
Para pemimpin Rusia berulangkali memperingatkan dukungan militer barat tiada henti terhadap pemerintah Ukraina dapat memperburuk konflik saat ini.
Agresifitas barat itu bisa mengubah konflik kedua negara menjadi perang Kawasan, atau bahkan perang dunia.
Para tokoh dan sejumlah pejabat politik Rusia baru-baru ini mempertimbangkan untuk membuat penyesuaian pada doktrin nuklir negara itu.
Opsi barunya adalah menyediakan pilihan serangan nuklir pre-emptive. Namun, Kremlin secara konsisten menyatakan perang nuklir tidak boleh terjadi.
Sergey Karaganov, mantan penasihat Presiden Rusia, mengatakan doktrin nuklir negaranya sudah ketinggalan zaman dan tidak berfungsi sebagai kekuatan pencegah.
Doktrin nuklir Rusia sangat perlu direvisi untuk memungkinkan respons nuklir terhadap setiap agresi militer besar terhadap negara itu.
Diadopsi pada tahun 2020, doktrin nuklir Rusia tidak mengatur serangan nuklir pre-emptive dan hanya menskemakan penggunaan senjata nuklir hanya dalam kasus luar biasa.
Situasi luar biasa itu mencakup serangan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial negara tersebut.
Menurut Karaganov, pendekatan ini telah membuatnya hampir tidak berguna dan secara efektif telah mengecualikan faktor pencegahan nuklir dari persenjataan militer dan kebijakan luar negeri Rusia.
"Kami telah membiarkan situasi memburuk ke titik ketika musuh kami percaya kami tidak akan menggunakan senjata nuklir dalam keadaan apa pun," kata ilmuwan politik tersebut.
"Memiliki senjata nuklir tanpa mampu meyakinkan musuh Anda bahwa Anda siap menggunakannya adalah bunuh diri," tambah Karaganov.
Kegagalan untuk memiliki kebijakan pencegahan nuklir yang efektif akan menjerumuskan dunia ke dalam serangkaian perang yang pasti akan berubah menjadi perang nuklir dan Perang Dunia Ketiga.
Karaganov percaya, situasi itu dapat terjadi dalam rentang waktu beberapa tahun ke depan. Menurutnya, sebuah doktrin harus meyakinkan semua musuh saat ini dan masa depan bahwa Rusia siap menggunakan senjata nuklir.
Serangan lintas batas Ukraina ke Wilayah Kursk Rusia sesungguhnya situasi yang luar biasa, karena perbatasan Rusia secara mendadak berhasil dijebol pasukan Ukraina.
Ribuan tentara Ukraina berhasik masuk dan menduduki area cukup luas, dan hingga hari ini belum berhasi dikalahkan sepenuhnya oleh pasukan Rusia.
Serbuan pasukan Kiev ke Kursk adalah semacam kejutan bagi miiter Rusia, tapi sekaligus kesalahan strategi yang dijalankan Volodymir Zelenksy dan pembantunya.
Pemimpin militer Ukraina, Jenderal Aleksandr Syrksy menjelaskan ke stasiun televisi CNN, operasi ke Kursk adalah serangan preemtive karena Rusia hendak masuk ke Ukraina dari front tersebut.
Serangan dadakan itu juga dimaksudkan untuk menahan gempuran pasukan Rusia yang terus melaju di wilayah Donbass.
Diharapkan, masuknya pasukan Ukraina ke Kursk akan menarik berbagai grup militer Rusia dari Donbass guna menyelamatkan garis perbatasan Kursk.
Skenario itu mematikan Kiev, karena ribuan tentara Ukraina tewas atau tertangkap di Kursk, dan pasukan Rusia terus maju dan memperluas kontrolnya di Donbass.
Dalam sudut pandang Sergey Karaganov, serangan Ukraina ke Kursk seharusnya sudah memenuhi syarat untuk ditanggapi Rusia lewat serangan balasan nuklir.
Karaganov meminta Kremlin segera mengubah doktrin nuklirnya, sehingga musuh Rusia tidak meragukan apakah Rusia siap menggunakan persenjataan nuklirnya atau tidak dan kapan digunakan.
Presiden Rusia Vladimir Putin, walau dia seorang tokoh sangat kuat dan berkuasa, memiliki pertimbangan dan kehati-hatian tinggi menyikapi situasi ini.
Putin telah berulang kali menunjukkan posisi yang lebih terkendali dalam masalah ini.
Kepada Sergey Karaganov di Forum Ekonomi Internasional Sank Petersburg pada bulan Juni 2024, Presiden Putin mengatakan Rusia tidak sedang mengacungkan senjata nuklir.
Ia menyatakan harapannya perang nuklir itu tidak akan pernah terjadi antara Moskow dan kekuatan barat di Eropa.
Moskow menurut Vladimir Putin tidak punya alasan untuk berpikir tentang penggunaan senjata nuklir saat ini.
Ia pun meminta para pejabat Rusia untuk tidak menyentuh masalah penggunaan senjata nuklir kecuali benar-benar diperlukan.
Putin di bulan yang sama juga mengatakan Rusia belum memerlukan serangan pencegahan, karena musuh dijamin akan dihancurkan dalam serangan balasan konvensional.
Tetapi ia tidak mengesampingkan kemungkinan perubahan pada doktrin tersebut. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov lebih lanjut menjelaskan pemikiran Putin dalam bahasa yang diplomatis.
Moskow pada waktunya akan mengambil langkah-langkah yang bijaksana, terkoordinasi, dan efektif untuk menahan NATO.
Respon normal Rusia itu dilakukan sejalan deklarasi NATO hasil pertemuan puncak blok itu di Washington, yang menempatkan Rusia sebagai ancaman utama keamanan sekutu.
NATO juga mengambil keputusan untuk terus mensuport Ukraina secara politik, ekonomi, dan mengalirkan bantuan militer dalam jumlah yang cukup fantastis.
Deklarasi itu juga menegaskan kembali pencegahan perang nuklir adalah landasan keamanan aliansi, seraya menambahkan NATO akan terus berinvestasi dalam kemampuan nuklirnya.
Moskow telah mengutuk pernyataan tersebut sebagai provokasi dan meningkatkan eskalasi konflik melibatkan senjata nuklir.
Barat telah menempatkan Rusia dan China sebagai ancaman utama mereka. Kedua negara itu memiliki hubungan khusus dengan Korea Utara, kekuatan nuklir di Asia.
Moskow dan Pyongyang sudah meneken pakta kerjasama militer, dan ini memungkinkan penggunaan senjata nuklir jika perang global pecah di Eropa dan Asia.
Kim Jong-un adalah sekutu dekat Rusia yang gemar menjajal kemampuan militernya, termasuk tes-tes bom nuklir dan hidrogen.
Watak tokoh nyentrik itu juga konon impulsive, agresif, dan tak segan akan memencet tombol tembakan nuklir, jika terancam atau diserang.
Seberapa besar peluang perang nuklir akan pecah di Eropa atau Asia? Wallahualam.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)