Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
‘Sepanjang Sejarah Haji Selalu Terkait Politik’
Soal haji itu pasti terkait politik. Minimal bagaimana menentukaN Istita’ah dan jaminan keselamatan selama pergi, tinggal di tanah suci, hingga pulang
Editor: Anita K Wardhani
Karena sultan tidak bisa berangkat, maka ia menugaskan para penggantinya untuk menunaikan ibadah
haji, dengan biaya ditanggungnya semua.
Setelah Mataram, Sultan Banten Abdul Kadir (Abu al-mafakir Abd al-Qadir) bertahkta 1626-1651 mengutus para pembesar kerajaan untuk berangkat ke Mekkah pada 1663-21664.
Mereka, menurut HJ de Graaf pada Puncak Kekuasaan Mataram dan Ekspansi Sultan Agung, membawa permintaan khusus sang raja kepada Syarif Mekkah untuk menganugerahi gelar sultan.
Syarif Makkah kala itu, yakni Syarif Zayd ibn Muhsin (1631-1666), menerima utusan tersebut dan memberikan hadiah termasuk surat memuat gelar untuk sang raja Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, juga gelar untuk putra mahkota, Sultan Abumali
Ahmad.
“Syarif Mekkah sebenarnya tidak berwenang untuk memberikan gelar sultan kepada siapa pun. Yang berwenang adalah khalifah, Sultan Turki,” tulis Henry Chambert Loir, Naik Haji di Masa Silam; Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964.
Campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam urusan haji?
Campur tangan pihak kolonial dalam hal urusan ibadah haji, bermula dengan alasan ketakutan dan kecurigaan terhadap para haji yang baru pulang dari tanah suci.
Terdapat kecurigaan bahwa masyarakat muslim dari kalangan bangsawan Jawa yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, akan membawa pemikiran baru dalam pergerakan Islam untuk menentang eksistensi pemerintah kolonial.
"Di sisi lain, ternyata pihak kolonial juga melihat adanya keuntungan ekonomi yang sangat besar, apabila melakukan
monopoli utuh terhadap prosesi ibadah haji," terusnya.
Guna menutupi modus kapitalisme dan monopoli politik tersebut, pemerintah kolonial menciptakan sebuah kesadaran palsu. Mereka menciptakan kecurigaan bahwa "Islam itu berbahaya" dan memanfaatkan isu internasional pada masa itu tentang gerakan pan islamisme.
Mengawali usaha monopoli ibadah haji tersebut, pemerintah menerbitkan sebuah putusan terkait prosesi ibadah haji dengan Resolusi (putusan) 1825. Rosolusi 1825 berkenaan dengan ONH (ongkos naik haji) yang ditentukan oleh pihak kolonial sebanyak f.110 (gulden).
Biaya sebesar itu tidak termasuk dengan "paspor (surat jalan dari penguasa setempat), biaya hidup, ongkos pulang dan dikenakan wajib lapor kepada pemerintah setempat sepulangnya ke tanah air," lanjut Asyhadi.
Pemerintah kolonial faham betul dengan kekuatan doktrin agama dan juga fanatisme umat Islam di Nusantara, sehingga meraka sangat yakin walaupun telah dikeluarkan Resolusi 1825, intensitas dan jumlah jamaah haji tetap akan melimpah dan
terus bertambah.
Campur tangan pemerintah kolonial kepada urusan penyelenggaraan haji semakin hari semakin menjadi. Mulai dari proses pendaftaran, urusan izin, transportasi, karantina,hingga ujian orang yang pulang dari Makkah berhaji atau tidak.
Misalnya ada sebutan haji Singapur. Hingga pengawasan orang yang pulang dari Makkah. Ini karena Belanda curiga
merekalah penggerak perjungan seperti terjadi zamam (surat Imam Masjid Makkah, Syekh Abdussomad Al Palembangi yang menyerukan jihad pada masa Pakubowono ke 11, juga di Perang Jawa, Pemberontakan Petani Banten 18880 dan lainnya.