Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
‘Sepanjang Sejarah Haji Selalu Terkait Politik’
Soal haji itu pasti terkait politik. Minimal bagaimana menentukaN Istita’ah dan jaminan keselamatan selama pergi, tinggal di tanah suci, hingga pulang
Editor: Anita K Wardhani
Tapi meski dibatasi gairah pergi Haji ke Makkah tak terbendung lagi. Malah sebelum datang masa Malaise (krisis ekonomi 1930) kala itu yang pergi ke Makkah jumlahnya sudah sangat banyak mencapai puluhan ribu.
Penyelenggaraan haji sempat vakum pada masa perang 1945-1950, Ini atas Fatwa dari KH Hasyim Asyari. DI situ Belanda melawannya dengan cara memberangkatkan orang yang berpihak kepadanya mendapat hadiah dengan naik haji.
Gubernur Jendral Van Der Plas di sekitar tahun itu banyak memberangkatkan mereka, terutama dari luar Jawa, yakni Sulawesi karena ingin membentuk negara Indonesai Timur. (lagi-lagi haji selalu terkait politik-kekuasaan).
Masa Indonesia Merdeka
Usaha pengurusan haji muncul mulai ketika ada usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam Rapat Besar (Sidang) Badan Penyelidik Usaha – Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
tanggal 11 Juli 1945. Dalam rapat tersebut Mr. Muhammad Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yaitu yang berhubungan dengan agama.
Menurut Yamin, "Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggisaja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri.
Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan
pendirian Islam, wakaf dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama”.
Namun demikian, realitas politik menjelang dan masa awal kemerdekaan menunjukkan bahwa pembentukan Kementerian Agama memerlukan perjuangan tersendiri.
Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Ahad, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI.
Salah satu anggota PPKI yang menolak pembentukan Kementerian Agama ialah Mr. Johannes Latuharhary.
Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
Diungkapkan oleh K.H.A. Wahid Hasjim sebagaimana dimuat dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856), "Pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran
orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam prakteknya berlainan."
Pembentukan Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya."
Selintas pelayanan haji di Indonesia