Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Darurat Penyelamatan Polri: Urgensi Pengembalian Reputasi Negara Akibat Kasus Pemerasan DWP 2024
Tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia penegakan hukum termasuk Polri telah mengalami penurunan atau bahkan rusak.
Editor: Hasanudin Aco
Kasus DWP tersebut harus menjadi perhatian besar kita semua. Apalagi ini mencerminkan kegagalan Polri dalam mengawasi jajarannya. Namun jika kita mendalami permasalahan yang terjadi, hal ini sebenarnya bukan hal baru. Pemerasan atau pungutan liar dalam penanganan perkara di Polri sebenarnya adalah rahasia umum.
Untuk dapat memperlancar keinginan dari para pihak, diperlukan biaya atau lebih dikenal upeti atau mahar.
Hal ini harus diakui merupakan hal yang sudah banyak beredar dan diketahui oleh masyarakat, terutama yang pernah terlibat dalam mafia hukum.
Permasalahan yang terjadi pada WNA Malaysia tersebut harus diakui seringkali terjadi di lapangan. Komisi III DPR misalnya pernah menemukan permasalahan yang dilaporkan dalam penanganan kasus Narkoba.
Pemakai atau pengguna narkotika malah dibawa ke ranah proses peradilan yang berujung pada pidana penjara dan memenuhi lembaga pemasyarakatan.
Usut punya usut, hal ini diduga juga lahir dari penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan oleh oknum penyidik. Jika orang tersebut tidak mampu memenuhi biaya tertentu (pungli) yang telah ditentukan, maka tersangka dapat dibawa ke ranah penegakan hukum, sebaliknya jika ada biaya tertentu maka cukup direhabilitasi atau bahkan dihentikan perkaranya. Inilah yang kemudian melahirkan maraknya mafia hukum.
Dalam kasus DWP, permasalahan yang terjadi dan viral tersebut seolah mengkonformasi dugaan-dugaan terhadap penyalahgunaan kewenangan oknum aparat penegak hukum Polri.
18 oknum Polri diduga menggunakan modus tes urine untuk kemudian menakut-nakuti 400 penonton yang merupakan WNA Malaysia tersebut, sehingga harus mengeluarkan biaya agar tidak diproses ke penegakan hukum.
Biaya yag diperoleh tersebut cukup tinggi atau dilansir hingga 9 juta Ringgit atau 32 miliar Rupiah. Lebih parah lagi, ada penonton yang hasil tes urinenya negatif namun tetap harus membayar sejumlah uang. Hal ini kemudian terungkap di media sosial dan ternyata korbannya tidak hanya satu.
Urusan penyalahgunaan Narkotika memang menjadi kekhawatiran bersama, namun soal pungli dalam penanganannya ini menjadi hal yang “Sangat Serius” untuk diberantas.
Apa jadinya negara ini jika penegak hukumnya saja melanggar hukum, terlebih dilakukan pada saat melakukan fungsi penegakan hukum.
Paradoks ini akan sangat memalukan citra penegakan hukum yang seharusnya adil dan kredibel. Cerminan ini akan tetap merusak reputasi seluruh Anggota Polri, termasuk mereka yang telah bekerja secara profesional.
Pihak DWP sendiri menyatakan bahwa informasi soal pemerasan ini harus dilaporkan ke Polisi. Inilah yang kemudian juga menjadi kekhawatiran atau concern dari sejumlah elemen masyarakat, yang menduga bahwa hal ini adalah upaya untuk memberikan “perlindungan” kepada oknum-oknum tersebut.
Namun begitu, tentu masyarakat harus menunggu kejelasan dan sikap tegas Polri dalam menindak, baik secara pidana maupun etik. Saat ini pengaduan tersebut telah diterima dan ditindaklanjuti oleh Polda Metro Jaya dan Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri.