Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Peraturan Menteri Keuangan Soal PPN Justru Membingungkan Dunia Usaha
Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga aturan pelaksanaannya di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingung
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Wahyu Aji
Oleh Mukhamad Misbakhun
Ketua Komisi XI DPR RI
Fraksi Partai Golkar DPR RI
PRESIDEN Prabowo pada tanggal 31 Desember 2024 menyatakan, penerapan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyakat berada atau hanya masyarakat yang mampu mengkonsumsi barang mewah tersebut.
Anehnya, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga aturan pelaksanaannya di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.
Rancu karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak bisa menerapkan PPN dengan multitarif.
Padahal sangat jelas bahwa dalam Pasal 7 UU HPP tidak ada larangan soal multitarif PPN sehingga penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen bisa diterapkan bersamaan sekaligus.
Tarif PPN 11 persen untuk yang tidak naik, sedangkan tarif PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah.
Namun, ketika PMK Nomor 131 Tahun 2024 Tentang Pemberlakukan PPN membuat dasar perhitungan penerapan PPN 11% yang tidak naik membingungkan dunia usaha karena menggunakan istilah dasar pengenaan lain, maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya Dirjen Pajak dalam menterjemahkan perintah Presiden Prabowo yang sudah jelas.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak, di mana Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.
Sedangkan untuk Masa Transisi pada tanggal 1 Januari 2025 s.d. 31 Januari 2025, Pengenaan PPN Barang Mewah dikenakan tarif 12?ngan DPP yang sama dengan barang/jasa yang bukan barang mewah.
Presiden Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11?n bukan 12% untuk barang/jasa yang bukan barang mewah, tetapi dalam peraturan tersebut justru mengatur tarif PPN yang berlaku adalah 12%.
Memang Dasar Pengenaan Pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11% atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif.
Tetapi peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, di mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12% seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak dalam Media Briefing 2 Januari 2025.
Persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi PMK itu tetap membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya.
Sudah seharusnya Kementerian Keuangan RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
Apakah Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak, telah menterjemahkan intruksi Presiden dengan tepat?
Tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya.
Kalau Dirjen Pajak tidak mampu melaksanakan perintah Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat menimbulkan pelaksanaan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha. (*/)
Mukhamad Misbakhun
3 Januari 2025
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.