30 Tahun Bergantung pada Air Hujan
HUJAN yang turun pertama setelah kemarau panjang bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Sriwijaya Post, Sugih-Damayanti Pratiwi
TRIBUNNEWS.COM, BANYUASIN - “Kami tidak tahu air hujan itu mengandung apa, dan baik dikonsumsi atau tidak," ungkap Umi Nasiroh (45), warga Desa Margomulyo Jalur 16 Kecamatan Muara Sugihan, Banyuasin, pekan lalu.
"Dari dulu itulah adanya, sumber kehidupan kami dari air hujan. Walaupun kabarnya bisa mempercepat pengeroposan tulang”.
Umi merupakan satu di antara ratuan orang yang tinggal di Jalur.
Mereka memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum dan memasak.
Daerah yang letak geografisnya berada di pesisiran Banyuasin ini, menjadikan air hujan sebagai satu-satunya sumber pokok kehidupan warga.
Beberapa sungai di kawasan Jalur tak bisa dikonsumsi karena sudah bercampur air laut.
Bahkan mengandung bahan karat yang cukup kuat, ditambah airnya yang sudah berwarna.
Menurut Umi, ia dan keluarga lain di Jalur sudah hidup seperti itu sejak 30 tahun lalu.
Ibu beranak tiga ini mengatakan, air sungai atau sumur bor tak bisa dikonsumsi karena kualitasnya yang buruk.
Kondisinya sudah begitu sejak ia dan warga lainnya pertama kali datang untuk bertransmigrasi.
“Dari dulu airnya asin dan berkarat. Kalau mencuci pakaian berwarna putih, seragam sekolah anak-anak contohnya, bukan menjadi bersih tapi makin kotor karena warnanya berubah menjadi kekuningan. Kalau dipakai untuk mandi, badan serasa makin lengket,” terangnya.
Warga Jalur biasa menampung air hujan di wadah besar yang mereka sebut gentong.
Air dari atap rumah dialiri ke gentong itu.