Lomba Panjat Pinang Jadi Pelipur Lara Remaja Kampung Aquarium
Sejumlah remaja tampak gigih memperjuangkan 'hak' mereka demi meraih kemenangan dalam permainan Panjat Pinang.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski diterpa kisah hidup yang miris, lantaran harus menerima kenyataan pahit menjadi korban penggusuran oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa bulan silam, para warga Kampung Aquarium di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tidak terlihat sedih, Rabu (17/8/2016).
Pasalnya, mereka sejenak 'merdeka' dari rasa sedih dan melupakan seluruh masalah hidup yang mereka hadapi pasca penggusuran pemukiman mereka.
Jutaan puing bangunan serta teriknya matahari yang menyengat, tidak menyurutkan semangat mereka meraih 'kemerdekaan' dalam balutan peluh yang menetes dari sekujur badan mereka.
Sejumlah remaja tampak gigih memperjuangkan 'hak' mereka demi meraih kemenangan dalam permainan Panjat Pinang.
Bermandikan peluh, kulit mereka tampak bercahaya dibawah terik matahari dengan keringat mengucur di sekujur tubuh mereka.
Kegagalan demi kegagalan mereka dapatkan, namun hal tersebut tidak membuat mereka menyerah, adrenalin mereka semakin tertantang untuk 'menggapai' hadiah yang berada diujung pinang.
Lomba panjat pinang dan piala merupakan pelipur lara pada kemerdekaan RI ke-71, berbeda dengan perayaan pada tahun lalu yang digelar meriah, kali ini semua digelar dalam kondisi yang memprihatinkan.
Ade (14), salah seorang peserta panjat pinang menuturkan, perayaan kemerdekaan tahun ini sangat berbeda dari tahun yang lalu.
"Beda sama tahun kemarin, sekarang cuma ada puing-puing, ini lomba panjat pinangnya juga mesti hati-hati, karena kan bawahnya ada banyak puing," ujar Ade, saat ditemui Tribunnews disela lomba panjat pinang di Kampung Aquarium, Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/8/2016).
Sejenak remaja berkulit sawo matang ini terdiam, namun ia melanjutkan kembali kalimatnya, menurutnya perayaan tahun lalu lebih berkesan, lantaran dirinya belum tinggal ditenda seperti saat ini.
"Seneng sih, cuma mendingan tahun kemarin, nggak didalem tenda kayak gitu," jelasnya dengan raut wajah sedih.
Selain itu, dengan sedikit menghela nafas ia menuturkan, sebelum eskavator menghancurkan rumahnya, pancaran sinar matahari tidak terasa begitu menyengat.
"kalau truk sama alat-alat itu (eskavator) nggak bikin rumah kita hancur, ya nggak berasa banget deh panasnya (matahari) kayak sekarang," katanya sambil melihat langit yang terik.
Remaja-remaja tersebut sedang melupakan rasa kecewanya karena merasa 'terabaikan'.
Tidak peduli panasnya matahari yang menyengat kampung yang kini telah rata dengan tanah, mereka terus berjuang, menahan rasa lelah akan perjuangan, berjuang untuk merdeka dari rasa 'orang kecil', juga merdeka dari rasa 'ketidakadilan'.
Tribunnews melihat perjuangan tersebut dari dekat, sejumlah remaja bahu membahu menggapai pangkal pinang yang bermandikan sejumlah hadiah. Tanpa lelah, mereka terus menggempur batang pinang tersebut meski waktu telah menjelang senja.
Nominal hadiah tersebut memang tidak seberapa, namun 'kebersamaan' dalam memperjuangkan kemenangan dalam lomba panjat pinang tersebut akan menjadi prestasi tersendiri bagi sejumlah remaja yang pertama kalinya merayakan kemerdekaan RI di lokasi rumah mereka yang telah luluh lantah.
Tidak ada lagi atap rumah yang akan melindungi mereka dari panasnya matahari dan derasnya hujan, serta tembok yang melindungi mereka dari dinginnya udara malam yang menusuk.
Kini, mereka hanya tinggal didalam tenda yang mereka bangun dengan segala keterbatasan, bahkan mereka bisa melihat langit malam dengan sangat jelas. (*)