Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad Beberkan 7 Alasan RUU MK Perlu Dikritik Tajam
Masa lame duck, kata dia, yakni masa di mana pihak-pihak yang sedang sedang berkuasa tengah menghadapi akhir-akhir masa jabatan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Acos Abdul Qodir
"Kemudian bagaimana anggota-anggota Komisi III itu juga banyak yang tidak hadir. Oleh karena itu secara internal pembahasan RUU ini pun bermasalah. Dalam arti apa? Tidak semua anggota yang terlibat di dalamnya itu ikut serta dalam pembahasan bahwa RUU ini akan disetujui dibawa pada rapat Paripurna," kata dia.
6. Lemahnya Jaminan Terkait Masa Jabatan Hakim Konstitusi (security of teneur)
Terkait lemahnya jaminan masa jabatan hakim, menurutnya meskipun MK mengatakan bahwa usia jaminan masa jabatan merupakan open legal policy (kewenangan pembentuk Undang-Undang), tetapi menurutnya kewenangan tersebut perlu dibatasi.
"Mengapa security of teneur ini menjadi penting? Karena security of teneur ini menjadi salah satu jaminan dari independensi hakim maupun pengadilan," kata dia.
Baca juga: Prabowo Tegaskan Komitmennya soal Demokrasi saat Pimpin RI: Saya Sudah Keluar Militer 25 Tahun
Ia memandang jaminan terkait masa jabatan hakim tersebut kerap diotak-atik karena jaminan independensi di dalam UUD 1945 adalah jaminan independensi yang bersifat sangat minimal.
"Dan jaminan itu membutuhkan bantuan badan-badan eksternal di luar pengadilan untuk menegakannya," kata dia.
"Dalam kaitan ini UUD 1945 tidak secara spesifik mengatakan bahwa bagaimana security of teneur itu dijamin, bagaimana syarat-syarat menjadi hakim itu juga dijamin di dalam UUD," sambung dia.
7. Cawe-cawe Politik dalam Indepensi Lembaga Kehakiman (court packing plan)
Terkait dengan cawe-cawe politik terhadal independensi hakim, ia mengemukakan sejarah yang mencatat upaya intervensi politik secara terselubung terhadap independensi lembaga kehakiman.
Upaya tersebut, kata dia, pernah terjadi melalui RUU Reformasi Prosedur Peradilan di Amerika Serikat pada tahun 1937 atau yang lebih dikenal dengan "court packing plan".
Sejarah mencatat strategi court packing tidak dapat dilepaskan dari hasrat Presiden AS saat itu Franklin D Roosevelt untuk melakukan penambahan jumlah hakim di Mahkamah Agung AS guna mendapat persetujuan terhadap serangkaian kebijakan Rooosevelt yang disebut Undang-Undang New Deal.
Namun, dalam konteks RUU MK saat ini strategi court packing tersebut harus ditafsirkan lebih luas dari hanya sekadar menambah jumlah hakim.
"Tetapi, juga termasuk setiap usaha memanipulasi keanggotaan hakim untuk tujuan yang bersifat partisan. Ini adalah isu kedua yang juga harus kita perhatikan dengan sangat hati-hati," kata dia.
"Jangan sampai ketentuan pasal 23(A) itu merupakan court packing yang terselubung dari pembentuk UU. Karena apa? Karena itu merupakan usaha untuk memanipulasi keanggotaan hakim, membership dari hakim di sebuah pengadilan. Untuk tujuan apa? Yaitu untuk tujuan yang bersifat partisan," sambung dia.
Menurutnya, ketentuan dalam pasal 23A RUU MK dapat ditafsirkan maksudnya adalah agar lembaga pengusul hakim konstitusi (presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) dapat mengevaluasi hakim konstitusi yang mereka tunjuk.
Oleh karena itu, ia khawatir ketentuan pasal 23A dalam RUU MK dapat menjadi praktik court packing terselubung yang dapat dimanfaatkan lembaga pengusul hakim konstitusi.