KSAL: Indonesia Kekurangan 12 Kapal Selam
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi mengharapkan kapal selam hendaknya jangan hanya didiskusikan
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi mengharapkan kapal selam hendaknya jangan hanya didiskusikan karena realisasi kapal selam itu penting untuk Negara Kepulauan.
"Kapal selam itu sudah didiskusikan sejak Tahun 2005, tapi sampai sekarang hanya ada dua kapal selam yang kita miliki," katanya saat menjadi pembicara dalam Sarasehan Nasional di Makoarmatim, Ujung, Surabaya, Kamis (10/9/2015).
Dalam sarasehan dalam rangka HUT Ke-56 Satuan Kapal Selam (Hiu Kencana) yang dihadiri Menristekdikti Prof M Nasir itu, Laksamana Ade Supandi mengatakan, TNI AL setidaknya memerlukan 12 kapal selam untuk negara seluas Indonesia.
"Kita memulai pengadaan kapal selam itu, bukan hanya diskusi. Kita sudah pesan tiga kapal selam ke Korea yang semuanya akan selesai pada April 2017, tapi sebagian dibikin di Korea dan sebagian dibikin di PT PAL," katanya.
Menurut dia, Malaysia dan Singapura yang tidak memiliki wilayah laut seluas Indonesia saja memiliki kapal selam, maka Indonesia harus memiliki dalam jumlah lebih banyak daripada mereka, bahkan kapal selam "the next class".
"Apalagi, Indonesia mempunyai visi menjadi Poros Maritim Dunia, maka kehadiran TNI AL itu penting, bukan hanya hadir di pangkalan, tapi hadir di laut, baik di permukaan maupun di bawah permukaan," katanya.
Menanggapi pernyataan KSAL Laksamana Ade Supandi, Menristekdikti Prof M Nasir dalam paparannya menyatakan, pihaknya memiliki delapan fokus riset, namun Presiden Joko Widodo meminta untuk mengutamakan tiga fokus riset yakni pangan, energi, dan maritim.
"Seperti yang disampaikan KSAL bahwa kapal selam masih sebatas diskusi maka hal itu ditentukan dua hal yakni anggaran dan kolaborasi antar-Kementerian. Untuk anggaran itu, kita akan sampaikan ke DPR untuk membantu," katanya.
Ia mencontohkan, anggaran riset Indonesia hanya 0,09 persen dari GDP, sedangkan Thailand mencapai 0,25 persen dari GDP, Malaysia 1 persen dari GDP, Singapura 2,8 persen dari GDP, dan Korea 3,4 persen dari GDP.
"Meski anggaran riset itu penting, kolaborasi antar-Kementerian itu juga penting, karena riset yang tidak sinergis antar-Kementerian membuat terjadi pemborosan anggaran riset dan tujuan tidak bisa fokus sehingga hanya menjadi bahan diskusi di atas kertas," katanya.
"Untuk kapal selam, misalnya, Litbang Kemenristekdikti bersama Libtang Perguruan Tinggi dan Kemenhan bisa bersinergi untuk melakukan riset dan menentukan fokus untuk produk riset yang diinginkan. Kalau riset dilakukan sendiri-sendiri akan sulit fokus," katanya.
Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur Laksama Muda TNI Darwanto mendukung pandangan Menristekdikti untuk mendorong riset kapal selam karena kontur laut Indonesia itu sangat cocok untuk persembunyian kapal selam.
"Kadar garam pada laut kita sangat tinggi, biota laut kita juga sangat banyak, dan kedalaman laut kita juga berbeda-beda, sehingga kapal selam bisa bersembunyi dan tidak menutup kemungkinan ada kapal selam asing yang sudah keluar-masuk laut kita," katanya.
Indonesia sudah saatnya memiliki armada kapal selam yang memadai, karena semua negara maju itu memiliki kapal selam, seperti Amerika, Australia, Tiongkok, dan sebagainya.
"Bisa jadi kapal selam kita hanya didiskusikan terus karena kapal selam itu memiliki efek penggetar yang tinggi secara politis sehingga ada yang berusaha agar kita tidak pernah memiliki armada kapal selam yang memadai. Jadi kita harus bersinergi untuk memiliki kapal selam," katanya.
Direktur Pusat Teknologi Industri Hankam BPPT Dr Ir Samudro M.Eng menyatakan, penguasaan teknologi itu memerlukan dorongan dan dukungan yang kuat dari Pemerintah, Kemenhan dan TNI AL sebagai pengguna, LPNK (Lembaga Pemerintah Nonkementerian), Perguruan Tinggi dan industri dalam negeri.