TRIBUNNEWS.COM, DUMAI - Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Kota Dumai menyampaikan lima rekomendasi hasil rapat mereka ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), Selasa (21/5/2013).
Rekomendasi hasil rapat tersebut dilakukan menyikapi aksi mogok para buruh yang tergabung dalam Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Selama dua hari (Senin 20/5 dan Selasa (21/5), aktivitas bongkar muat di kawasan PT Pelindo Dumai terhenti. Para buruh menolak bekerja karena menganggap upah mereka belum sesuai.
Ketua APBMI Kota Dumai, Ahmad Joni Marzainur mengatakan, akibat mogok kerja para buruh tersebut, membuat para pengusaha Perusahaan Bongkar Muat (PBM) mengalami rugi hingga ratusan juta.
Hadir dalam rapat yang digelar di Hotel Comfort tersebut 29 pimpinan PBM. Pengusaha beralasan, penyesuaian gaji yang diminta pihak TKBM tidak relevan dengan berbagai pertimbangan. Untuk itu, APBMI meminta agar penyesuaian tarif dilakukan minimun dua tahun sekali untuk kestabilan harga terhadap pemilik barang. APBMI meminta KSOP selaku pembina TKBM ikut bertanggung jawab dalam hal tersebut. Sehingga dapat menjadi mediator untuk menunjukkan langkah kongkrit agar masalah ini segera diselesaikan.
Selain itu mereka juga menuntut KSOP untuk membentuk TKBM tandingan. Bahkan mereka juga memberikan pilihan lain yakni PBM dapat mencari pekerja sendiri untuk melaksanakan kegiatan bongkar-muat.
Berkaitan dengan kenaikan tarif OPP/OPT, Joni mengaku APBMI bersedia membahasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pelaksanaan pekerjaan di lapangan. APBMI juga mengancam akan mogok, tidak mengorder kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan, bila pihak TKBM tidak menerima permintaan PBM.
Poin yang disepakati oleh pengusaha PBM dalam rapat langsung di bawa ke Kantor KSOP di Jalan Yos Sudarso. Di Kantor SOP tersebut, mereka ditemui oleh Pjs KSOP, Viktor Vicky Subroto.
Akibat tidak beroperasi aktivitas bongkar tersebut, pengusaha mengaku rugi karena harus membayar kompensasi kepada sejumlah pihak yang juga ikut mengalami kerugian akibat mogok tersebut. Seperti pemilik barang karena saat ini barangnya tertahan di pelabuhan. Sementara semakin lama kapal bersandar, maka jasa sandar yang akan dibayarkan semakin besar.
Penyesuaian tarif dua tahun sekali untuk kestabilan harga terhadap pemilik barang diakuinya sebagai pertimbangan demi eksistensi pelabuhan Dumai. Sebab jika biaya operasional di pelabuhan Dumai tinggi, dikhawatirkan pemilik barang lari dan mencari pelabuhan lain untuk membongkar barang.
"Kalau itu terjadi tak hanya pengusaha yang kena dampaknya tapi juga buruh. Kita berharap KSOP sebagai pembina untuk bijaksana dengan mempertimbangan aspek kesanggupan kami sebagai pengusaha bongkar-muat," ujarnya.
Perselisihan antara TKBM selaku penyedia pekerja/buruh dan APBMI dari pihak pengusaha bongkar muat berkaitan kecocokan terhadap kesesuaian pembayaran upah. TKBM menganggap upah yang diterima buruh saat ini belum memenuhi upah minimum kerja (UMK) Dumai.
Ditambahkan Sekretaris APBMI Dumai, Yusrizal sistem pengupahan terhadap buruh berdasarkan sistem borongan harian yang didasarkan atas jumlah barang yang dibongkar. Seperti pembayaran upah pada kegiatan bongkar muat curah kering. Biasanya, satu grup yang terdiri dari 12 orang dengan 8 jam kerja diberikan pekerjaan untuk membongkar sebanyak 3000 ton.
Tiap tonnya dihargai sebesar Rp14 ribu. Jumlah upah bongkar secara keseluruhan akan dibagi dengan 12 orang buruh tadi, setelah dipotong beberapa persen untuk pihak koperasi. Jika dihitung setiap satu kali pembongkaran upah yang bisa diterima buruh Rp 1 sampai Rp 2 juta.
"Memang dalam satu grup mungkin hanya satu kali dalam dua bulan mendapatkan pekerjaan. Tapi masih banyak item lainya tidak hanya curah kering yang membutuhkan tenaga bongkar muat itu," katanya. (ibl)