TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Nurtantio Wisnu Brata menilai sikap Kementerian Kesehatan yang memasukan draf akademik secara diam-diam ke DPR untuk ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan langkah tergesa-gesa.
Dia menilai, jika ratifikasi FTCC itu juga menyangkut dengan pengalihan tanaman dari tanaman tembakau ke tanaman lain, kemudian diaksesi pemerintah, maka para petani tembakau yang akan dirugikan.
"Tanah yang sekarang di sentra-sentra tembakau itu karunia Tuhan, diberi keunggulan untuk tanaman tembakau. Jika diganti dengan tanaman lain, kualitasnya tidak akan sama bagusnya dengan tembakau," ujar Nurtantio, dalam keterangannya kepada wartawan (28/7/2013).
Dia bilang, dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan yang ada di luar negeri. Padahal, produk tembakau di Indonesia memiliki ciri khas sendiri yang tidak bisa begitu saja disamakan. Jika ada standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih.
"Jika produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa jadi bahan baku rokok dan produk turunan lain. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain," ujarnya.
Seharusnya, ketimbang pemerintah memaksakan ratifikasi, mestinya membuat aturan rokok yang benar-benar disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
"FCTC bisa saja sesuai dengan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi bersikukuh ingin meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control dan akan memberlakukannya pada 2014 nanti. Saat ini draf FCTC sudah dikirim ke DPR.