TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak melanjutkan rencana meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), seperti keinginan Menteri Kesehatan.
"Karut-marut tata niaga sektor pertanian masih membutuhkan sentuhan lebih pemerintah, daripada terus sibuk mengurusi rencana meratifikasi FCTC,” kata Muhammad Sulton Fatoni, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, dalam diskusi 'FCTC, Ancaman Petani Tembakau,' Kamis (19/12/2013).
Petani di Indonesia, termasuk komoditas tembakau, disebut belum merasakan kehadiran pemerintah secara penuh, utamanya dalam hal tata niaga hasil pertanian. Sejumlah peraturan yang diterbitkan belum mampu memberikan dampak positif, sementara aturan yang berpihak dalam praktiknya tidak dibarengi dengan pengawasan maksimal, sehingga tampak ompong dan tidak melindungi kepentingan petani.
Sulton menambahkan, pemerintah perlu fokus menguatkan sektor pertanian dengan menyelesaikan segala macam permasalahan petani. “Bukan seperti sekarang yang terus sibuk akan meratifikasi FCTC, yang mana itu akan membuat kalangan petani semakin terpuruk,” katanya.
Merujuk pada hasil Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) ke-9 di Bali beberapa saat lalu, pemerintah dinilai sudah semestinya tidak melanjutkan rencana meratifikasi FCTC.
"Butir-butir kesepakatan KTM WTO di Bali itu bukti presiden melindungi petani dalam negeri, di mana peraturan menuju kedaulatan pangan pun sudah kita punya. Sekarang saatnya Pak SBY melanjutkan dengan tidak meratifikasi FCTC," ucap Sulton.
Dorongan agar pemerintah tidak meratifikasi FCTC sebelumnya disuarakan PBNU melalui diskusi bertajuk “Kampanye Kondom, Antirokok: Indah Tapi Manipulatif?” yang diselenggarakan awal pekan lalu, Bendahara Umum PBNU, Bina Suhendra mengatakan, keinginan meratifikasi FCTC patut dicurigai bermuatan politik dagang kotor.
"Di pedagang kelontong pinggir jalan sekarang sudah gampang didapatkan rokok impor. Artinya apa? Ratifikasi FCTC berpotensi mematikan industri rokok dalam negeri, dan jika itu terjadi, produk rokok asing akan semakin membanjiri pasar kita," ujar Bina.
Sementara Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Andi Najmi Fuaidi, mengaitkan rencana ratifikasi FCTC dengan kemungkinan semakin bertambahnya utang negara.
“Satu hal yang harus diperhatikan betul oleh pemerintah, jika negara kita meratifikasi FCTC, potensi pendapatan dari cukai akan mengalami kemerosotan hingga Rp 50 triliun. Dan jika itu terjadi, maka potensi utang negara akan meningkat. Pertanyaannya, apakah anak cucu kita akan terus dibebani utang negaranya?” tegas Andi.