TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Tepat tanggal 1 Januari kemarin Pertamina menaikkan harga jual LPG 12 kg, rata-rata kenaikan Rp 3.959 per kg, disesuaikan jarak SPBBE ke supply point. Imbasnya, tentu akan terjadi kenaikan sejumlah kebutuhan pokok. Lagi-lagi rakyat menanggung beban.
"Kenaikan ini disebabkan karena LPG kita sebanyak 12 persen didapat dari hasil kilang minyak Pertamina, 31 persen dari perusahaan swasta domestik, 57 persen impor. Tingginya impor mengakibatkan LPG 12 kg terpengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Ini bukti praktik neoliberal. Pengelolaan Minyak dan Gas Indonesia hancur berantakan," kecam Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Sabtu (4/1/2014).
Pemerintah beralasan tak bisa intervensi Pertamina dalam menentukan harga jual LPG 12 kg menurut Fadli Zon, sungguh aneh. Dengan kepemilikan 100 persen saham di Pertamina, lanjut Fadli, pemerintah seharusnya bisa mengatur harga jual LPG 12 kg agar tidak naik membebani rakyat.
Sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.
"KPK perlu menelusuri berbagai indikasi korupsi yang menyebabkan karut marutnya pengelolaan Migas Nasional. Perlu juga adanya audit investigatif di tubuh Pertamina. Jangan sampai Pertamina yang pada 2012 memperoleh laba mencapai 26 triliun, di 2013 mencapai 30 triliun, dan proyeksi laba di 2014 sebesar 34 triliun, justru menjadi mesin uang bagi para koruptor," pungkas Fadli Zon.