TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusron Wahid mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi bila merugikan rakyat maka haram hukumnya.
Oleh karena itu, kata Nusron, pemerintah harus mempertimbangkan nasib rakyat jika ingin berbicara soal harga BBM bersubsidi.
"Kalau ternyata merugikan masayarak bisa saja dinilai haram. Tapi jika tujuannya mencegah konsumsi besar-besaran, mubazir atau berlebihan mengeksploitasi alam, kenaikan BBM bisa dinilai halal," kata Nusron dalam diskusi bertema "Kenaikan BBM: Dilema Defisit Transaksi dan Inflasi" di Kantor GP Ansor, Jakarta, Jumat (19/8/2014).
Diskusi ini digelar oleh GP Ansor, organisasi sayap dari Nahdlatul Ulama (NU). Selain Nusron, hadir juga sebagai pembicara di antaranya Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara dan Pengusaha dan CEO Bosowa Group Erwin Aksa, dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Denni Puspa Purbasari.
Terkait wacana naik atau tidaknya harga BBM bersubsidi, Nusron mengatakan, pihaknya sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia belum rampung melakukan kajian.
Sejauh ini, kata Nusron, pihaknya juga sedang mengkaji manfaat dan mudaratnya bila harga BBM bersubsidi naik.
Namun, kata Nusron, kenaikan BBM bisa dinilai halal atau haram tergantung dari tujuan kenaikan itu sendiri. Menurut Nusron, pihaknya bakal menyampaikannya ke publik setelah kajian terkait harga BBM bersubisi rampung dilakukan.
Sementara itu, Deputi Senior Gubernur BI Mirza Adityaswara menilai, skema pemberian subsidi tetap (fixed) untuk BBM bersubsidi merupakan cara yang tepat untuk menahan lonjakan inflasi. Skema ini menetapkan harga jual BBM subsidi dijual sesuai dengan harga di perdagangan internasional, namun nilai subsidi perliternya tak berubah.
Ia mengakui lonjakan inflasi menjadi faktor yang dikhawatirkan, dalam rencana kenaikan harga BBM bersubsidi .kenaikan harga pangan pasaca kenaikan harga BBM, misalnya, sudah terjadi berkali-kali di Indonesia. “Jadi bagaimana agar inflasi tidak naik terus? Caranya dengan subsidi yang tetap," ujarnya
Mirza menjelaskan, jika harga BBM nyatanya sebesar Rp 11.500, dengan subsidi tetap Rp 2.500 maka harga jual menjadi Rp 9.000. Namun jika harga minyak dunia naik dan harga internasional menjadi Rp 12.000 maka harga jual juga naik menjadi Rp 9.500 per liter.
Sejatinya, Indonesia pernah menerapkan skema tersebut namun hanya bertahan sebentar sebelum kemudian kembali pada skema yang berlangsung hingga saat ini. "Hanya bertahan 1 tahun-1,5 tahun kemudian dibatalkan dan kemudian malah memberatkan. Kalau ada subsidi fix ini sebenarnya inflasi lebih terkendali daripada di subsidi penuh (full) lantas kemudian dicabut, inflasinya akan parah," tuturnya.
Sejauh ini , kata Mirza, BI sudah menkaji dua skenario terkait pengendalian subsidi BBM. Pertama, Jika Pemerintahan Jokowi tidak menaikkan harga BBM pada tahun 2014, maka laju inflasi berada pada level 5,32 persen.
Kedua, jika pemerintahan Jokowi menaikkan harga BBM pada tahun 2014 sebesar Rp 3.000/liter maka laju inflasi berada pada level 9 persen. BI menghitung, setiap kenaikan BBM Rp 1.000/liter mempengaruhi inflasi sebesar 1,5 persen. “inflasi harus dikenadalikan karena kalau naik jauh lebih tinggi dari kenaikan pendapatan masayarakat, berarti secara riil pendapatan masyarakat turun,” serunya.
Kenaikan harga BBM sendiri menurutnya dibutuhkan untuk menjaga defisit transaksi berjalan. Sekedar informasi, uang yang harus dikeluarkan pemerintah untuk impor BBM sebesar Rp37 - Rp42 triliun setiap bulannya.