TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mafia migas di Indonesia sudah ada sejak zaman Orde Baru. Mereka diduga beroperasi dengan menjadikan Pertamina dan anak-anak usahanya sebagai ladang bisnis empuk untuk memperkaya diri sendiri dan menguatkan kelompok mereka.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES), Erwin Usman menyebut, mafia migas ini yang salah satunya membuat HM Soeharto berjaya hingga 32 tahun lamanya. "Era booming minyak tahun 80-90an, saat Indonesia mampu menghasilkan 1,6 juta barel per hari (bph), benar-benar menjadikan mafia berpesta pora," kata Erwin, dalam diskusi bertajuk Migas untuk Rakyat digelar KAMMI, Jakarta, Minggu (21/9/2014).
Rezim berganti, mafia migas justru makin menjadi. Erwin mengatakan, di era reformasi, mafia migas menggurita paska pemberlakuan Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
"Kerja sindikasinya makin menohok ke dalam sistem negara. Dalam UU Migas ini, urusan migas didorong menjadi sangat liberal dan praktis menghilangkan kedaulatan nasional atas migas," ucap Erwin.
Mafia migas, lanjut dia, sempat "vakum" di era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Namun, mereka kembali masuk paska sukses mengintervensi tata kelola dan tata niaga migas melalui UU Migas 2001. Lalu apa tujuan mereka?
Erwin menuturkan, jelas, para mafia ini hendak merusak sistem tata kelola dan tata niaga migas. "Dipreteli perangkat aturannya, sistemnya, lalu jalankan kaderisasi mafia dan bonekanya untuk masuk seluruh jaringan tata kelola dan tata niaga migas dalam sistem negara," lanjut dia.
Siapa mereka?
Erwin menjelaskan, mereka adalah kombinasi dari kekuatan peusahaan miltunasional, jaringan birokrasi antek imperialisme, serta politisi nirnasionalisme. Mereka bergerak menciptakan kaderisasi apik dari hulu ke hilir.
"Nama-nama Kuntoro Mangkusubroto, Purnomo Yusgiantoro, Ari Soemarni, Muhammad Reza Chalid, R Priyono, hingga Karen Agustiawan adalah sederet nama yang tak boleh dilepaskan dari perhatian kita, ketika kita mempersoalkan amburadulnya tata kelola migas Indonesia, di level hilir," sebut Erwin.
Termasuk di dalamnya, imbuh dia, sejumlah nama yang tiba-tiba muncul dari kalangan CEO perusahaan energi multinasional, yang digadang-gadang menjadi Menteri ESDM, atau Dirut Pertamina.
Memiskinkan negara
Erwin mengutip sebuah laporan menyebutkan kerugian negara dari praktik sindikasi mafia migas di Indonesia per tahun minimal sebesar 4,2 miliar dollar AS atau setara Rp 37 triliun. Artinya, kata dia, kerugian negara akibat operasi mafia dalam 10 rahun terakhir sudah menyentuh Rp 370 triliun.
Menurut dia, transaksi di hulu untuk urusan minyak meliputi 850.000 barel per hari mencapai 16,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 196,3 triliun per hari.
"Ini baru dari migas, belum dari mafia pangan dan sektor strategis lainnya. Kasihan benar bangsa dan rakyat miskin Indonesia. Para mafia dan bonekanya berpesta pora, sementara mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kubangan kemiskinan, dan kemelaratan," kata Erwin.(Estu Suryowati)