TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) mengalami penurunan sekitar 10% menjadi Rp 2.615 per saham pada Kamis (30/4/2015), atau sehari sebelum liburan panjang akhir pekan lalu, dibandingkan harga pada awal pekan lalu sebesar Rp 2.905 per saham.
Itu mengakibatkan kapitalisasi pasar Telkom turun drastis sebesar Rp 29 triliun, yaitu dari Rp 293 triliun menjadi Rp 264 triliun.
Selain karena kecenderungan penurunan transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI), banyak pihak yang memperkirakan penurunan harga TLKM tersebut disebabkan oleh ketidakpastian proses transaksi PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak usaha Telkom yang bisnisnya bergerak di bidang menara telekomunikasi, dimana menurut rencana saham Mitratel tersebut akan dialih tukar (share swap) oleh PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).
Ketidakpastian transaksi tersebut timbul setelah muncul kesimpangsiuran berita-berita mengenai transaksi Mitratel yang dipicu oleh berbagai pernyataan pejabat dan politisi sehingga menimbulkan kegusaran investor terhadap saham Telkom. Akibatnya, harga saham TLKM sepanjang minggu lalu turun 10%, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya turun 6,4%. Sementara itu, harga saham Indosat (ISAT) hanya turun 1,3%.
Sebelumnya, Komisaris Utama Telkom, Hendri Saparini, kepada media mengatakan, masalah share swap masih dibahas di internal Telkom. Namun, berita yang belakangan beredar ternyata berbeda. "Belum ada yang bisa dishare ke publik," kata Hendri Saparini.
Pernyataan Hendri dikuatkan oleh isi hasil keputusan rapat RUPS (Minute of Meeting) Telkom, yang berbeda dengan surat yang dikeluarkan oleh Dewan Komisaris Telkom. Menurut Ketua Masyarakat Pengamat Investasi Indonesia (MPII), Chandra Budiman, badan usaha milik negara (BUMN) di sektor telekomunikasi ini sejatinya belum memutuskan menerima atau menolak transaksi saham tersebut. “Menurut sumber internal Telkom, transaksi alih tukar saham masih dipelajari dewan komisaris. Itu bisa dicek di minute of meeting RUPS,” ujar Chandra.
“Saya mohon agar pemerintah bisa melindungi saham Telkom dari kerugian yang disebabkan oleh kesimpangsiuran pernyataan dan mencampuradukan keputusan bisnis dengan kepentingan politik. Selain itu, Telkom sebagai salah satu penggerak indeks juga akan menarik turun IHSG lebih dalam jika hal ini terjadi terus,” tandas Chandra.
Dalam transaksi ini, Telkom akan melepas sahamnya di Mitratel secara bertahap kepada TBIG dengan cara share-swap. TBIG akan menguasai 100% saham Mitratel dengan kompensasi Telkom memiliki 13.7% saham TBIG. Secara bertahap, Telkom bisa menambah sahamnya dengan beberapa syarat.
Menurut Chandra Budiman, dalam jangka pendek, transaksi ini menguntungkan Telkom karena memberikan kas masuk yang besar. Cara share swap juga memberikan kepastian keberhasilan bisnis yang lebih baik daripada metode lain, seperti penawaran umum perdana saham (PUPS) yang lebih tidak pasti,” kata Chandra.
Secara jangka panjang, tambah Chandra, divestasi Telkom dari Mitratel juga membawa beberapa manfaat. Bisnis operator menara merupakan bisnis yang membutuhkan modal besar. Untuk membangun satu menara saja dibutuhkan dana US$100.000 Itu pun di luar pemeliharaannya. “Di bisnis ini menambah menara adalah kunci pertumbuhan perusahaan," jelas Chandra.
Chandra Budiman memberikan ilustrasi, untuk membangun 1.000 - 1.500 menara dalam satu tahun dibutuhkan dana Rp1,30-2 triliun. Oleh karena itu Telkom akan diringankan dalam dana untuk belanja modal, dan biaya operasional. "Telkom ke depan bisa lebih fokus kepada pengembangan jasa operator telekomunikasi. Apalagi, persaingan ke depan akan sangat tinggi. Kita juga bisa melihat bagaimana operator telekomunikasi lainnya juga melakukan divestasi terhadap menara-menaranya," ujarnya.
Transaksi share swap Telkom dengan TBIG ini telah bergulir sejak 2014. Secara ringkas transaksi swap tersebut, terdiri dari empat bagian yang tidak terpisahkan. Pertama, TBIG membeli 100% saham TLKM di Mitratel dengan memberikan kepemilikan Telkom di TBIG sebesar 13,7%. Kedua, Telkom juga menerima tambahan pembayaran Earn Out maksimum sebesar Rp1,74 triliun, untuk beberapa pencapaiaan atas kinerja Mitratel setelah dikonsolidasi ke TBIG. Ketiga, pengalihan utang Telkom sebesar Rp2,63 triliun kepada TBIG. Dan, terakhir, Post Closing Adjustment senilai Rp534 miliar, salah satunya diperuntukan untuk tambahan aset atau modal kerja setelah tanggal penilaiaan.
Keempat bagian tersebut yang ditukar (Swap) dengan 100% kepemilikan saham Mitratel. Sehingga Telkom tidak hanya menerima 13,7% kepemilikan di TBIG namun juga menerima nilai moneter mencapai Rp 4,9 triliun. Dan TLKM tetap menjadi pemegang saham di Mitratel melalui TBIG
Transaksi Telkom dan TBIG murni bisnis, dimana kedua emiten tersebut melakukan upaya sinergi sebagai perusahaan yang bergerak di industri yang sama yaitu di industri Telekomunikasi. Telkom sebagai operator telekomunikasi dan TBIG sebagai penyedia dan pengelola menara Telekomunikasi. Di negara-negara maju, seperti Amerika, pengelolaan menara dilakukan oleh perusahaan operator menara independen, bahkan operator nasional seperti Indosat dan XL juga telah menjual tower mereka, Selain manfaat efisiensi, operator telekomunikasi.
Sementara itu, Sanusi, Ketua MISSI (Masyarakat Investor Sekuritas Seluruh Indonesia) mengatakan, pelaksanaan swap share Mitratel yang dilakukan oleh PT Tower Bersama Tbk (TBIG) itu tergantung oleh pemegang saham mayoritas PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), dalam hal ini Kementerian BUMN.
“Sebenarnya, manajemen Telkom yang lama sudah menyetujui tindakan korporasi tersebut, tetapi kita belum tahu bagaimana pendapat dari manajemen Telkom yang baru di bawah pimpinan pak Sinaga. Jika swap share tersebut menguntungkan, silahkan jelaskan kepada pemegang saham mayoritas untuk memberi keyakinan bahwa tindak korporasi tersebut memang menguntungkan Telkom, sehingga Menteri BUMN juga dapat meyakinkan para anggota DPR agar mendapat restu dari mereka untuk melaksanakan tindak korporasi tersebut,” tambahnya.
Sedangkan William Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities, berpendapat, rencana share swap antara Telkom dan TBIG tidak akan merugikan apalagi dilihat untuk jangka panjang. Aksi itu tidak bisa dilihat dalam jangka pendek dan pada satu sisi saja. Bicaranya harus jangka panjang, karena bisnis menara itu kontraknya jangka panjang semua, minimal lima hingga 10 tahun.
Menurut William, dari pengalaman yang bisa menjadi rujukan dalam melihat transaksi akuisisi menara yaitu ketika Tower Bersama membeli 2.500 menara milik PT Indosat Tbk (ISAT) pada 2012. Saat itu Indosat tidak dibayar secara tunai, tetapi melalui kepemilikan saham sebesar lima persen di TBIG .
Ketika itu, Indosat menetapkan harga penjualan lima persen saham milik Tower Bersama pada 2014 dengan harga Rp5.800 per saham. Dana yang diraih sekitar Rp1,39 triliun sebelum komisi dan biaya-biaya. Harga penjualan tersebut lebih tinggi 110% dibandingkan harga saham Indosat ketika memiliki saham penyedia menara itu pada 2012 sebesar Rp2.757 per saham.***