Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Rencana pembangunan pabrik ban di Indonesia oleh raksasa industri ban, Compagnie Financiere Michelin, disambut positif oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin.
Selain pabrik, Michelin juga berencana memiliki perkebunan karet sendiri.
“Pabriknya kan baru beroperasi 2019, perkebunan atau plantation karet juga butuh waktu untuk mulai menghasilkan, jadi saya minta Michelin lebih dahulu menyerap karet petani,” kata Saleh Husin usai menerima Corporate Vice President Public Affairs Michelin, Eric Le Corre di Kementerian Perindustrian, Rabu (6/5/2015) kepada Tribunnews.com melalui pesan singkatnya.
Jika hal ini dilakukan, imbuh Menteri, maka turut membantu para petani karet di Indonesia. Sejauh ini produksi karet alam terbanyak dihasilkan Sumatera Selatan, diikuti Sumut, Riau, Jambi, Kalbar dan Kalteng.
Pabrik ban tersebut merupakan patungan Michelin dengan anak usaha Barito Pacific, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Keduanya telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada 2013 lalu.
Pembelian karet oleh Michelin itu diharapkan turut meningkatkan serapan karet Indonesia ke industri. Menurut Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin, Harjanto, baru sekitar 20 persen produksi karet nasional diserap oleh industri ban, sedangkan di Thailand dan Malaysia sudah mencapai 40 persen dari total produksi masing-masing dua negara itu.
Selama ini, lanjutnya, sepertiga kebutuhan karet di unit-unit produksi Michelin seluruh dunia berasal dari Indonesia yang diharapkan porsinya makin bertambah.
VP Michelin, Eric Le Corre mengatakan pihaknya menyampaikan optimisme tentang prospek bisnis jangka panjang di Indonesia kepada Menperin.
“Michelin selalu terbuka mencari peluang baru di seluruh dunia. Permintaan Menteri Perindustrian akan kami sampaikan ke manajemen di kantor pusat Michelin di Perancis,” paparnya lebih lanjut.
Selain serapan karet petani, Menperin juga mendorong tiga bidang kerja sama dengan Michelin. Pertama, membantu standardisasi ban agar akses pasar ban keluar negeri makin luas. Kedua, mengembangkan bisnis retreading tyre atau yang lebih dikenal sebagai vulkanisir. Yang ketiga, Michelin membantu pemanfaatan ban bekas.
Menurut Harjanto, bisnis vulkanisir ban dikhususkan untuk ban pesawat terbang.
“Michelin sudah mengembangkan bisnis retreading tyre di Thailand. Kita juga ingin mereka membangun bisnis serupa di sini,” ujarnya.
Dia juga meluruskan persepsi publik yang cenderung apriori terhadap ban hasil vulkanisir.
“Di industri pesawat seluruh dunia, hal ini sudah berkembang lama. Bukan hanya untuk menekan cost tapi juga demi kepentingan lingkungan,” lanjut Harjanto.
Dia berharap, teknologi dan keahlian Michelin dapat membantu pengembangan industri vulkanisir ban pesawat di Indonesia sekaligus mengikis persepsi negatif selama ini. Apalagi industri manufaktur pesawat dan industri transportasi udara terus berkembang.
“Kita juga meminta Michelin membantu pemanfaatan ban bekas untuk diolah menjadi unsur pembangunan jalan. Jadi infrastruktur kita menggunakan limbah sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan."
Dia memperhitungkan, saat ini terdapat 80 juta kendaraan bermotor roda dua sehingga total ada 160 juta ban. Dengan rata-rata pemakaian selama 1,5 – 2 tahun maka akan banyak limbah ban bekas yang dapat dimanfaatkan.