TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR, Iskan Qolba Lubis, mempertanyakan kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak menetapkan standar harga gas domestik di tengah harga internasionalnya yang terus merosot.
Menurut Iskan, gas adalah bagian dari sumber energi yang penting dan strategis, serta jumlah produksinya ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga, penentuan harga gas yang jelas ke publik mutlak dibutuhkan.
"Sebagai energi penting dan strategis, pemerintah tidak memberi standar harga gas seperti BBM yang dikenal dengan harga Indonesian Crude Price (ICP). Ini aneh," kata Iskan dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/9/2015).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menuturkan, ketiadaan patokan harga itu memberatkan kalangan industri dalam negeri (domestik). Apalagi, menurut Iskan, kondisi ekonomi saat ini sedang melemah.
"Gas sekarang tidak bersahabat dengan industri, karena membuat biaya produksi meningkat," tuturnya.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) ini menyorot banyaknya industri yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dari biaya produksi yang meningkat.
"Jadi mahalnya gas domestik dari harga global selama ini, membuat banyak industri protes dan banyak melakukan PHK terhadap buruhnya," ujarnya.
Iskan berharap Kementerian ESDM segera menjelaskan ke publik soal harga gas ini, serta tidak melemparkan tanggung jawab ini kepada Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas).
"Seharusnya yang memberi penjelasan adalah pemerintah atau Menteri ESDM, bukan SKK Migas. Karena kedaulatan energi ada di tangan negara, sedangkan SKK Migas hanya operator bukan pemegang kedaulatan," tandasnya.