TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) menurunkan harga elpiji 12 kg dengan kisaran Rp 6.400 hingga Rp 17.900 per tabung mulai Rabu (16/9/2015).
Ahmad Bambang, Direktur Pemasaran Pertamina, mengatakan, besaran penurunan tersebut berdasarkan data historis harga elpiji sesuai acuan contract price (CP) Aramco dan kurs dolar AS terhadap rupiah.
“Ditambah, estimasi pergerakan kedua indikator tersebut,” kata Ahmad seperti dilansir Antara.
Menurut Ahmad, harga di tingkat agen bervariasi antara Rp 132.800 per tabung dan Rp 157.400 per tabung tergantung jarak stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE) terhadap titik suplainya.
Secara rata-rata nasional, harga elpiji 12 kg menjadi Rp 135.300 per tabung atau turun Rp 6.700 per tabung dari harga sebelumnya sebesar Rp 142.000 per tabung.
Untuk wilayah Jabodetabek harga elpiji 12 kg turun Rp 6.400 per tabung dengan harga di agen turun dari Rp 141.000 per tabung menjadi Rp 134.600 per tabung. Demikian pula, konsumen di Jawa Timur, harga elpiji 12 kg turun Rp 6.400 per tabung.
“Penyesuaian harga juga dilakukan untuk merek-merek elpiji non-PSO lainnya dengan besaran tidak jauh berbeda per kilogramnya,” kata Ahmad.
Pertamina mencatat stok elpiji nasional saat ini dalam kondisi aman yakni di atas 17 hari dengan rata-rata konsumsi seluruh jenis dan merek elpiji BUMN migas tersebut sebesar 17.678 metrik ton per hari.
Harga elpiji domestik ditentukan harga bahan bakar tersebut di pasar internasional sesuai patokan CP Aramco dan juga kurs rupiah terhadap dolar mengingat sebagian pemenuhannya masih impor.
Kalau berdasarkan patokan CP Aramco yang kini turun mengikuti harga minyak, maka harga elpiji mengalami penurunan. Namun, kurs rupiah mengalami pelemahan, sehingga menekan penurunan harga elpiji akibat turunnya CP Aramco tersebut.
Otomotif
Sementara itu, pelaku industri otomotif mengharapkan gas yang dipasok ke industri harganya diturunkan. Gunadi Sindhuwinata, Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), mengatakan, gas merupakan salah satu komponen dalam proses produksi industri otomotif.
“Gas itu dimanfaatkan untuk produksi. Misalkan di mobil atau motor perlu pengecatan. Itu perlu boiler perlu pemanasan, perlu gas,” ujar Gunadi kepada wartawan seperti dilansir Kontan.
Gunadi mengatakan, gas dipakai sekitar 6 persen dari volume konsumsi energi secara keseluruhan. Apabila harga gas turun, bisa meningkatkan daya saing industri karena biaya produksi turun. “Kalau bisa turun itu bagus sekali. Bisa meningkatkan efisiensi dan daya saing,” katanya.
Sebelumnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga meminta agar harga gas yang dipasok untuk industri bisa lebih rendah dari harga gas yang dipasok di negara tetangga.
Saat ini harga gas yang dipasok untuk industri berkisar antara 8 dolar AS- 11 dolar AS per mmbtu. Adapun harga yang dipasok di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand hanya berkisar 4 dolar AS- 5 dolar AS per mmbtu.
Berdasarkan data Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) kebutuhan gas untuk industri pada tahun ini mencapai 2.280.93 mmscfd. Rinciannya sebesar 1.086,22 mmscfd untuk bahan baku industri, sisanya untuk bahan bakar dan proses produksi.
Sedangkan kebutuhan gas bumi khusus untuk industri kendaraan bermotor adalah sebesar 4,89 mmscfd. (ang)