Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sylke Febrina Laucereno
TRIBUNNEWS.COM, CIREBON – Batik merupakan satu lembar kain yang ditoreh dengan lilin atau malam dan warna, jika tidak ada lilin tidak bisa disebut batik itu hanya motif.
Ketika menjadi pengrajin batik, Ninik Masruni Masina (68), pemilik Batik Ninik Ichsan sebuah warung batik di Desa Trusmi Kulon, Cirebon Jawa Barat, selalu memegang prinsip prinsip yang dianut oleh orang tuanya.
“Orang tua saya selalu bilang, jika ingin batik tetap eksis kerjakan batik halus jangan sekali kali kamu melirik batik kasar, karena untuk batik kasar kamu harus bermodal kuat, sedangkan kampu bermodal kecil akan terlindas pengusaha besar,” kenang Ninik.
Karena itu, sekarang Ninik menjadi pengrajin batik halus atau batik yang manual bukan cap atau printing. Dia mengungkapkan batik disini mengutamakan kualitas dari motif, cara pencucian hingga cara pemberian warna. Tidak heran jika satu lembar kain batik harganya bisa mencapai Rp 30 juta.
Menurut Ninik, harga Rp 30 juta itu sudah disesuaikan dengan proses pembuatan yang memakan waktu hingga satu tahun. Dia menjelaskan, untuk bahan semua batik yang ada di Ninik Ichsan sama yakni katun, yang membedakan adalah proses pencucian bahan dasar selama dua minggu hal ini dilakukan agar kualitas benang pada bahan lebih baik
Selain itu, penggambaran motif pada kain dilakukan selama dua bulan hingga 2,5 bulan. Biasanya motif yang dipesan sangat rumit sehingga membutuhkan ketelitian dalam menggambar.
Dia menjelaskan untuk dikirim ke luar negeri hanya sekitar 40 potong setiap 6 bulan. Hal ini karena memang harganya yang tidak murah dan proses pembuatan yang cukup lama. Biasanya kain batik halus berukuran 2 meter kali 160 centimeter.
Untuk kain batik halus yang cukup mahal ini, Ninik mengaku hanya membuat jika ada yang memesan. “Jika saya membuat batik yang harga Rp 30 juta tanpa pesanan, modal saya bisa berhenti di sini,” ujar Ninik. Batik yang dijual di Ninik Ichsan ini paling murah Rp 50 ribu hingga paling mahal Rp 30 juta.
Untuk menjaga kualitas batik, Ninik mengaku sejak awal tidak pernah gonta ganti pegawai yang membantunya untuk memproduksi batik. Menurut dia, dalam membatik dibutuhkan pengorbanan apalagi segmen batik yang disasar merupakan kalangan menengah keatas. Saat ini jumlah pegawai Ninik sekitar 25 orang.
Selain di dalam negeri Ninik mengatakan, batik nya sudah ada dibeli oleh kolektor dari Jepang, Kanada hingga Jerman. “Saya sempat sedih ketika masyarakat Indonesia belum menghargai batik sebagai warisan budaya, tapi begitu Unesco menyatakan batik itu milik Indonesia barulah orang orang mulai melirik batik halus ini,” tambah dia.
Untuk batik yang sudah sampai ke Jepang dia mengatakan Ayahnya yakni Masina merupakan anggota pengurus Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) di Jakarta. Dia mengatakan orang tuanya menjadi pengurus selama 33 tahun dari muda hingga akhir hayatnya.
Awalnya ayah Ninik menjadi narasumber untuk pembuatan buku yang dilakukan penulis Amerika, Inggris dan Jepang. Inilah yang membuat batiknya bisa sampai ke Negara-negara tersebut. Selain itu ayah Ninik juga pernah menggelar pameran tunggal di Museum tekstil dengan memamerkan koleksi batik dari peninggalan keluarga.
Ninik juga memiliki warung batik dan worksop, selain itu dia juga menampung batik-batik dari pengrajin kecil di sekitar Desa Trusmi. Dia mengatakan, ada sejumlah pengrajin yang dibina olehnya, dia memberikan bahan baku, motif, warna hingga quality control.
Menurut dia, hal ini dilakukan karena jika dilakukan sendiri tidak akan tertangani. Selain itu, banyaknya permintaan batik dari luar daerah terjadi pasca dibukanya Tol Cikopo Palimanan (Cipali) yang membuat jarak tempuh Jakarta – Cirebon lebih singkat sehingga pengunjung bisa pulang pergi dengan santai.
“Jika dulu kan mereka (pembeli) menggunakan kereta, berangkat dan pulang sudah ditentukan, lewat Cipali ini mereka tidak tergesa gesa, bahkan setiap hari jadi ramai,” ujar Ninik.
Namun Ninik tidak mau menjelaskan berapa pendapatan warung batiknya setiap bulan, namun dia mengatakan setiap harinya selalu ada pembeli yang datang ke warungnya. “Penjualan setiap harinya tidak pernah sepi, kami juga tidak pernah terlambat bayar cicilan,” kata Ninik sambil tersenyum
Tantangan
Dalam mengembangkan bisnis, selalu ada tantangan yang dihadapi oleh Ninik. Dia menceritakan tantangan saat ini yakni persaingan dengan anak-anak muda yang mulai berdagang. Menurut dia, banyak pengusaha muda yang tidak memikirkan sejarah Trusmi sehingga seolah-olah mereka tidak ada tata karma.
Ninik mengenang dulunya di Desa Trusmi ini tata karma pengrajin sangat kokoh banyak hal hal baik yang dipegang teguh. “Sekarang tata karma sudah mulai langka dan hampir tidak ada lagi, untuk persaingan jika perlu dibunuh ya dibunuh,” ujar dia.
Dia menyebutkan, warung batik yang dimilikinya terletak paling ujung di desa Trusmi, cukup jauh dari pusat kota. Namun dia yakin rezeki sudah diatur oleh yang maha kuasa. “Meski secara teori dan secara akal bisnis kita harus berusaha dan berikhtiar ya, untuk pemasaran kami juga dari mulut ke mulut saja tidak ada promosi khusus,” kata Ninik.
Promosi dari mulut ke mulut inilah yang membuat warung batiknya sejak zaman orang tuanya masih bertahan hingga ini. Biasanya yang membeli dari generasi ke generasi.
Saat ini Ninik Ichsan juga menjadi pemasok batik untuk toko-toko batik yang terkenal di Jakarta. Setelah dipasok ke toko tersebut, label Ninik Ichsan diganti menjadi label toko tersebut.
“Yang penting batik saya bisa berputar, dengan label toko itu orang yang mengerti batik akan mengetahui ini hanya pasokan bukan hasil mereka sendiri,” ucap dia.