TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuannya atau BI rate dari level 7,5% menjadi 7,25%. Penurunan BI rate sebesar 25 basis poin (bps) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari kedua, Kamis (14/1/2016), menandai turunnya BI rate untuk pertama kali sejak 11 bulan terakhir.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan BI akan melanjutkan penurunan BI rate di masa mendatang.
Direktur Eksekutif BI Tirta Segara mengatakan, keputusan penurunan BI rate sejalan dengan pernyataan BI sebelumnya yang melihat terbukanya pelonggaran kebijakan moneter karena stabilitas makroekonomi yang terjaga.
Sentimen positif pasar pasca kenaikan suku bunga The Fed juga menjadi pendorong BI untuk memotong suku bunga.
Penurunan BI rate ini diharapkan memperkuat pelonggaran kebijakan makro prudensial dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebelumnya.
"Pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan setelah dilakukan asesmen menyeluruh perekonomian domestik dan global," ujar Tirta, Kamis (14/1/2016).
Ruang penurunan lagi Kepala Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menilai penurunan BI rate mengindikasikan risiko perekonomian domestik mereda.
Apalagi BI selalu mempertimbangkan sejumlah indikator, seperti kurs, inflasi, dan defisit transaksi berjalan.
BI mencatat, rupiah menguat 0,36% pada Desember 2015 dibandingkan bulan sebelumnya ke level Rp 13.785 per dollar AS.
Inflasi 2015 pun rendah, hanya di level 3,35% sepanjang 2015. Sementara defisit transaksi berjalan, ada kemungkinan turun dari 3,1% ke 2% terhadap PDB.
Menurut Lana, pelonggaran kebijakan BI memang bisa berlanjut. Sebab BI memiliki ruang menurunkan BI rate hingga level 6,5% tahun ini. “BI bisa menurunkan BI rate berturut-turut dua bulan ke depan masing-masing 0,25%,” katanya.
Namun agar pasar keuangan tetap terjaga, pemerintah harus berkomitmen membantu menyediakan suplai dollar AS.
Sebab saat ini BI hanya bisa mengandalkan cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan devisa dan menjaga stabilitas rupiah.
Sumber pasokan dollar AS yang menjadi andalan BI tak lain adalah utang pemerintah, baik global bond maupun pinjaman luar negeri.